Untuk Adikku tersayang
Dalam pengarungan samudra asa.
Assalamualaikum warahmatullahi wa
barokatuhu..
Adikku
sayang, bagaimana kabarmu di sana?
Semoga selalu dalam buaian kasih-Nya. Hamdan lillah nikmat sehat-Nya masih
memayungi kakak di sini. Dan semoga kucuran Rahman-Nya tak pernah henti
mengaliri jiwa-jiwa kita dan keluarga. (Aaamin Yaa Mujibassailiin)
Surat yang kau layangkan
sudah kakak terima. Telah kakak baca dengan seksama. Sebenarnya apa yang
membuatmu rendah diri, dik? Mengapa semangatmu menjadi layu seperti bunga
bakung yang kekurangan cahaya matahari dan zat bergizi? Apa karena tatapan
mereka yang memandangmu sebelah mata hanya karna kau anak seorang nelayan di
pesisir pantai dan dari ibu buruh cuci?
Kakak
bukan hendak menyalahkanmu, namun apakah kau tak bangga terlahir dari benih
cinta manusia yang berjiwa mulia seperti Abah dan Emak? Beliau memang tidak
membekali kita dengan tumpukkan pakaian mewah dan berbagai alat teknologi canggih yang kini mereka banggakan
di depanmu. Namun Beliau justru memberi kita sesuatu yang tak kan bisa tergadai oleh dolar.
Sejak usia
kita dini mereka telah mengenalkan kita pada Sang Pemilik Hidup. Yang harus
kita “temui” lima
kali sehari. Bahkan di sepertiga malam kala banyak anak manusia yang masih lena
dalam lelapnya. Ataupun memohon rezeki agung lewat Duha-Nya. Perlu kau ingat
sayang, rezeki itu tak hanya berwujud uang, kesehatan dan keharmonisan juga
wujud dari rezeki yang jangan tak kau perhitungan. Dari Abah dan Emak pulalah
kita temukan mulianya semangat hidup, Dalam harinya, beliau bahkan tak sempat
mengeja lelah. Tetap ikhlas berpeluh, demi kita pendar jiwanya.
Masih ingatkah
kau saat ribuan kebahagiaan menjamahi jiwamu setahun yang lalu?? Saat kau lolos
seleksi hingga beasiswa mengantarkanmu mengenyam pendidikan ke pulau seberang.
Saat itu Abah dan Emak larut dalam zikir. Menyenandungkan syukur pada Dia yang
tak pernah tidur.
Esoknya, kita
dapati kedua kambing abah sudah tak menghuni kandangnya. Ternyata abah
menjualnya. Demi memberimu uang saku agar kau tak terlantar di sana. Padahal kita tahu,
beasiswamu telah menjamin semua keperluanmu, termasuk masalah uang saku. Tapi
itulah abah, selalu rela mengorbankan apa yang dipunya.
Tak beda pula
Emak, beberapa malam sebelum kau pergi memintal mimpi, Emak selalu menemani
tidurmu. Seperti takut bentangan jarak akan mencipta rindu. Itulah Emak, tulus
kasihnya tak lekang oleh waktu. Dan untuk semua itu nikmat Tuhan mana lagi yang
akan kau dustakan, sayang?
Dan dari semua
yang mereka beri, relakah kau biarkan semangatmu layu? Tak inginkah kau
mengusap peluh mereka dengan segudang prestasi? Menghadirkan sungging senyum di
bibir mereka dengan keberhasilan yang kita bawa. Kakakpun di sini terus berjuang,
mempersembahkan pelangi bahagia pada Abah dan Emak yang semakin senja. Hadirkan
lagi api semangat itu, sayang. Jadikan kobarannya menjilat-jilat melahap rasa
rendah dirimu menjadi abu tanpa sisa
Mungkin sampai
di sini dulu kita dapat berjabat pena. Lain waktu kita rangkai lagi kata indah
sebagai pengobat rindu. Semoga apa yang kakak sampaikan dapat menyalakan lagi
api semangatmu. Dan berjanjilah untuk selalu menjaga nyala baranya.
Dari kakakmu yang selalu merindu,
Wang Shabara Zafira.
(Dinobatkan sebagai juara 1 terbaik dalam event menulis surat fiksi di grup SYS)