Powered By Blogger

Selasa, 21 Februari 2012

Martabak Telur dan Semangkuk Bubur



Pagi ini aku membuatkanmu bubur ayam. Kutakar satu gelas beras, lalu memasaknya dalam teflon dengan air yang agak banyak. Tak lupa juga kububuhi sedikit garam dan merica bubuk. Aku sengaja tidak menggunakan santan, karena kamu lebih suka seperti ini. Oya, kamu juga tidak suka buburnya diberi daun bawang. Terasa langu katamu.

Sambil menunggu air buburnya menyusut, aku merebus beberapa potong ayam yang sudah dibumbui bawang putih, bawang merah juga garam, yang kemudian jika ayamnya sudah empuk, akan langsung kugoreng, kusuwir dan kutaburkan bersama bawang goreng ke atas bubur. Dan kaldu ayam ini yang akan menjadi kuahnya. Sesekali aku melongok ke arahmu yang sedang tidur di sofa depan tv, memastikan kamu baik-baik saja.

***

Saat akan membangunkanmu sebelum subuh tadi, aku dikejutkan oleh suhu badanmu yang panas. Sontak kurabai kening, pipi juga lehermu dengan punggung tanganku. Masya Allah, kamu demam. Buru-buru aku ke ruang tengah, menuju kotak obat lalu mengambil termometer kemudian menaruhnya di lipatan ketiakmu. Garis pada termometer itu mengarah hampir ke angka 38 derajat celcius. Aku langsung bergegas ke dapur, mengambil air dingin dan handuk kecil untuk mengompresmu.

Kemarin sore, setelah mengisi training kepenulisan, kamu memang pulang ke rumah dalam keadaan kuyup. Ternyata kamu nekat  menerobos hujan demi membelikan martabak telur kesukaanku. Dan kamu lihat hasilnya,  pagi ini kamu jadi demam tinggi.  Kalau kamu sakit biasanya cerewetku pasti akan keluar, “Sayang, tidak harus dengan menerobos hujan juga kan? Kamu juga tidak harus selalu membawakanku oleh-oleh setiap pulang dari manapun, karena kalau kamu sakit akulah perempuan yang paling nelangsa, hatiku juga pasti akan ikut meriang, dan bla bla bla”

Jika cerewetku keluar seperti itu, kamu hanya akan menanggapinya dengan tersenyum lalu menyilangkan telunjukmu di bibirku, seketika itu pula cerewetku langsung berhenti. Pada jeda berikutnya aku langsung meminta maaf karena telah cerewet kepadamu. Kamu hanya tersenyum lagi, “ Itu bukan cerewet namanya, tapi itu cinta Bunda” Katamu lembut. Jika sudah seperti itu aku akan menghambur ke pelukmu, dan malah menangis.

***

Aku kini duduk di sebelahmu dan kamu masih terlelap di atas sofa depan tv. Pelan pelan aku mengambil handuk kompres di keningmu yang sudah menjadi panas, kucelupkan lagi ke dalam air dingin, memerasnya dan menaruhnya kembali di keningmu, namun  kamu malah jadi terbangun.

Saat membuka mata dan melihatku ada di sampingmu, kamu langsung melemparkan senyum, aku segera membalas senyummu dan  menawarkan bubur yang kubuat tadi. Kamu menerima tawaranku, maka segera kuambil semangkuk lalu menyuapimu perlahan. Tak butuh waktu lama untuk menjadikan semangkuk bubur itu tandas.

Setelah itu kamu memilih meringkuk lagi di atas sofa dan meminta tidur di pangkuanku. Dengan senang hati kupersilahkan pahaku menggantikan bantalmu. Sayang, taukah kamu? Dalam tidurmu aku tak berhenti merapal doa untuk kesembuhanmu, Belahan jiwaku.

بِسْمِ اللهِ نَعُوْذُ بِاللهِ العَظِيْمِ مِنْ شَرِّ كُلِّ عِرْقٍ نَعّاَرٍ وَمِنْ شَرِّ حَرِّ النّاَرِ

Dengan menyebut nama Allah, kami memohon perlindungan kepada Allah SWT, Yang maha agung dari peluh (keringat) yang mengganggu, dan dari panas nya api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar