Powered By Blogger

Selasa, 20 September 2011

Menggurau Gerimis



Duduk, menunggu, memperhatikan dalam diam pada semangkuk canda tawa di depan sana
Sendiri, menimang-nimang hati , agar tak mengering bahkan mengerang.
Tak ingin beranjak. Demi melepas kepergian.
Namun diammu seperti menggali lubang dangkal untuk mengubur hati yang mengabar.
Mengapa kau biarkan aku  bergurau dengan gerimis, mengigau terbelenggu dalam tangis.
Tidak, ini hanya mimpi. Menjadi dongeng esok hari.



(in memorium 1 juli 2011, Jumat yang bermuram durja)

Senin, 19 September 2011

SEMERU YANG MENDERU

Mates, sebenarnya aku ingin sekali memosting catatan kecil ini beberapa minggu yang lalu, namun masih dijangkiti penyakit malas yang semakin akut, jadilah akhirnya coretan perjalannan yang sudah hampir sebulan lalu ini baru bisa kurampungkan hari ini.

             Selesai subuh aku ‘tewas’ lagi di kasur empuk dan gulungan selimut tebal milik Mbak Maria, kakak tingkatku saat di STAIN dulu yang kini tinggal bersamaku. Cuaca di malang memang berpotensi sebagai donatur setia untuk mengintimi selimut kemudian bermalas-malas ria di tempat  tidur. Adem euyy, padahal aku tinggal di daerah Singosari, bukan kawasan Batu yang dinginnya “mengigit’ tulang. Waktu melintasi Batu ketika dari Kediri akhir Juli lalu, aku sempat melongok  ke alat pengukur cuaca yang ada di mobil, ternyata udara Kota Batu pagi itu adalah 14 derajat Celcius, Hmmmm bisa dibayangkan betapa dinginnya bagi kami yang terbiasa dengan udara Lampung. Pantas saja Si Sayid,  selalu meng-up date status di facebook tentang flunya saat awal-awal di malang dulu. :D :D

            Jam 8 an pintu kamarku diketok Mbak Maria, duh jadi malu aku molor sampai hari terang. Padahal pagi itu kami berencana pergi ke Lumajang untuk menyusuri Semeru. Aku buru-buru mandi dan siap-siap berangkat. Karena tak sempat memasak akhirnya kami putuskan untuk sarapan di luar. Mbak Maria memilih soto sebagai sarapannya, sedangkan aku lebih memilih rawon. Lumayan untuk amunisi sampai di Lumajang nanti. :D :D


            Sebenrnya kami berencana mencari angkot ke Terminal Arjosari, karena menurut seorang teman yang berada di Lumajang, kami nanti harus tiga kali naik turun angkot, karena  rute kami nanti adalah Arjosari => Gadang => Lumajang. Namun hasil dari obrolan dengan bapak penjual Soto dan Rawon tadi ternyata ada bis yang langsung ke Lumajang. Jadi kami putuskan untuk naik bis yang langsung ke Lumajang saja. Akhirnya bis yang kami tunggu datang. Setelah kira-kira setengah jam di atas bus, aku sedikit curiga saat melihat rute di karcis bis, karena banyak sekali nama-nama daerah yang harus kami lewati untuk bisa sampai ke Lumajang, padahal kata seorang teman yang sudah menunggu kami di Lumajang, Jarak Malang-Lumajang hanya sekitar dua jam.  Akhirnya kecurigaanku terjawab setelah aku bertanya dengan salah seorang penumpang di bis itu. Hmmm pantas saja, jadi ternyata bis ini memang menuju Lumajang, namun lewat selatan yang memang harus muter-muter dulu melewati Pasuruan, Purbolinggo dan lain-lain, sedangkan kalau kami naik angkot dari Arjosari => Gadang => Lumajang itu adalah lewat selatan yang waktunya jauh lebih singkat. Jadilah kami yang harusnya sudah bisa sampai sebelum dzuhur, harus rela sampai di Lumajang sekitar sebelum Ashar.

            Sampai di sana kami ditampung di rumah Bapak Syahroni, salah satu kerabat mbak Maria di Lumajang. Ibu Syahroni dan anak-anaknya telah menyiapkan kami opor ayam, sambal ati dan kentang juga mi goreng yang kesemuanya Lezaaaaaattt. Hmmmmmm Yummmmmmyyyyy.. Terimakasih bapak Syahroni dan keluarga yang telah baik sekali terhadap kami. Hihiiihiiihihii J

***
 Pagi yang mengigil di awal ramadhan, Brrrrrrrrr.... dingin ruaaaaaaaaaarrr biasa. Secara posisiku ini berada di lereng kaki gunung Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa. Rencananya pagi ini kami akan menyusuri semeru, namun awan Lumajang hari ini ditutupi mendung. Jadilah kami harus bersabar menunggu cuaca semakin membaik. Sebenarnya jika tidak mendung, dari belakang rumah Bapak Syahronipun Semeru sudah nampak dengan jelas sekali.

            Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga kami menunggu cuaca membaik. Namun sayang Sang surya tak mampu mengusir mendung. Akhirnya kami putuskan tetap berangkat walaupun cuaca masih mendung, dan itu berarti besar kemugkinan kami tak bisa melihat Semeru karena ditutupi kabut. Kami keukeuh untuk menyusuri semeru hari ini karena besok kami sudah harus pergi lagi ke tujuan kami masing-masing, Mbak Maria akan ke Banyuwangi sedangkan aku sendiri ke Nganjuk.

            Perjalanan dimulai dengan menyusuri sawah di belakang rumah Bapak Syahroni, kami berangkat bertiga (aku, Mbak Maria dan Kak Syahlan). Sawah hijau membentang dengan  undak-undakan yang indah mengiringi perjalanan kami hari itu. Satu yang sedikit berbeda dengan sawah di daerahku di Lampung sana, bahwa sawah di sini banyak terdapat batu-batu besar. Konon katanya, itu akibat letusan Semeru berpuluh-puluh tahun lalu. Sawah telah selesai kami lewati hingga kini kami berada seperti semacam tanggul, menurut Kak Syahlan akan ada lima tanggul yang harus kami lewati untuk sampai ke Laharan (tempat lahar mengalir). Tanggul ini sendiri dibuat sebagai bentuk antisipasi pemerintah jika suatu saat Semeru meletus. Kami menyusuri tanggul dan mencari tangga untuk turun. Sepanjang tanggul, banyak terdapat kulit-kulit ular yang sudah mati dan memutih. Hmmm aku merinding jadinya.

            Setelah turun dari tanggul, kami langsung disambut oleh aliran kecil air jernih yang mengalir langsung dari Semeru. Hhhiiiiiiiiiiiyyyyyyyy beniiiiiiiiiiiiing dan jerniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih banget airnya. J J kemudian kami harus bersiap memasuki kawasan hutan pinus. Ribuan pinus tertata rapi di sini. Kata Kak Syahlan, dulu warga boleh mencari kayu di hutan ini, namun sekarang sudah tidak diperbolehkan lagi.

 Sejujurnya aku takut sekali saat harus berada di antara pinus-pinus tua itu, pikiranku selalu was-was setiapkali menyusuri hutan pinus, aku takut akan ada hewan-hewan buas yang menerkam kami yang cantik-cantik ini. (hihihiiihihi Narsis euy, Naudzubika ‘ala hadzihi narsisah ya Allah) hehehe. Setelah hutan pinus pertama selesai kami lewati, kami harus menyusuri jalan setapak dan turun ke semacam jurang namun tidak terlalu dalam. Perjalanan terus berlanjut sampai kami menemukan tanggul kedua. Jadi kami harus menyusuri jalan setapak, hutan pinus hingga menemui tanggul, jalan setapak, hutan pinus hingga menemui tanggul, jalan setapak, hutan pinus hingga menemui tanggul begitu seterusnya sampai kami tiba di tanggul ke lima.

Perjalanan ini memang melelahkan, namun semua menjadi tak masalah karena kami disuguhi pemandangan yang memanjakan mata. Akhirnya setelah sekitar delapan kilo berjalan dari rumah Pak Syahroni, kami sampai juga di tanggul terahir. Di bawah tanggul ke lima yang kami pijak ini terdapat semacam jurang tempat lahar panas semeru dulu mengalir, namun lahar itu kini sudah kering. Saat kami di sana banyak fuso-fuso yang mengangkuti batu dan pasir dari bekas lahar itu. Dari tanggul ke lima ini seharusnya cantiknya Semeru bisa kami nikmati dengan jelas, namun sayang sungguh sayang, cuaca tetap saja mendung, jadi dengan jarak sedekat inipun keindahan Semeru tidak bisa kami lihat dengan mata kepala sendiri. Akhirnya kami putuskan untuk menyudahi penyusuran sampai di tanggul ke lima ini karena cuaca semakin tidak memungkinkan. Meskipun hari ini Semeru masih ditutupi kabut, namun aku tetap bersyukur bisa diberi kesempatan menyaksikan salah satu keindahan Tuhan yang bisa aku nikmati  hari ini. Suatu saat nanti, jika Allah mengizinkan, aku ingin kembali ke sini lagi. Aamiin.

Mates, alam ini masih menyimpan berjuta keindahan untuk selalu terus dirawat dan dijaga. So Let’s save our earth.