Powered By Blogger

Selasa, 31 Januari 2012

Kidung Rindu Untukmu, Duhai Siraj Al Munir




1/
Aku mencelupkan ingatanku pada sebuah nama,  
tentang  manusia berjiwa malaikat yang hidup dalam tempurung waktu beraba-abad lalu,
Namun wanginya namanya tak hilang ditimbun zaman
Kasih dan cintanya serupa cahaya,  menerangi semesta, menembusi ruang dan waktu bermilyar milyar jaraknya.
Dialah putra Abdullah.
Muhammad kekasih Allah.

2/
Belum kering dalam ingatan, riwayatmu yang berloncatan dari bibir-bibir guru ngajiku, juga amalan-amalan yang menjadi sunahmu.
Lalu rindu menjumpaimu merambati ulu hatiku, menikam, merepih memilu, membiru tanpa redam
Kemarau telah dipinang musim, daun jati meranggas satu-satu, namun cintamu bukan jati, yang dapat meranggas sewaktu-waktu.

3/
Halusnya budimu, lembutnya lakumu, serta mulianya semangatmu membuatku mengerti mengapa kau disebut kekasih bagi ilahi Rabbi.  
Hingga kidung-kidung shalawat dilangitkan untumu, Duhai Siraj al-Munir.

Jumat, 27 Januari 2012

Rumah Bambu Mungil yang Gigil






Sering  kudengar bingar nyanyian
Melubangi telingaku yang renta
Tentangmu yang sering menabung lapar di lambung
Atau mengepal lelah, agar dapurmu tak lelah mengepul

Juga tentang mereka                                                     
Yang bergincu dan minum susu
Berlalu lalang menyesakki bola matamu yang hujan

Rumah bambumu kelewat mungil dan gigil
Untuk  diisi sembilan kepala dengan ingin yang berbeda
Lalu kau bertualang
Dari kaki ke kaki, dari sepi ke sepi
Menggali lelah dan keringat
Agar rumahmu tetap terasa hangat

Sering kau berkejaran dengan angin dan ingin
 Angin, yang menjelma garis merah di punggung setiap malam, bercampur aroma balsam.
Ingin, untuk melihat gigi-gigi di rumah bambumu tetap bisa mengunyah
Meski tumit kakimu semakin pecah dan terbelah

Ibu dan Aroma Rantau yang Harum




Aku masih saja sibuk
Menyederhanakan rindu yang malas membusuk
Sebab raga yang dibentangkan jarak
Dan aku kepayahan, membuang pilu yang bingung mencari tepian

Fotomu terlalu abu-abu, Ibu
kuselipkan dalam dompetku yang ramai peluhmu
Peluh yang dapat menyuburkan batu

Rintik hujan jatuh satu-satu
Meninggalkan jejak tanah basah
Menguapkan aroma rindu
Pada pelukan ibu yang serupa madu

Bulan depan kukabarkan kepulangan, Ibu
Bersama aroma rantau yang harum
Akan kulumat pilu ini berganti senyum.

Mantra Luka Hati yang Menganga



                                [1]                                   
Kepada nafasmu yang pernah mengalirkan bening hujan
Melalui dering telpon genggam, yang selalu aku tunggu saat langit mulai memejam.

Manalah mungkin aku memutus urat di nadimu
Sedang darahku terlanjur mengalir di dalamnya
Menyusuri tiap degub jantungmu
Yang mendenyut di dadaku.

[2]
Kepada coklat biji matamu yang pernah menghantarkan semangat
Melalui bening embun pagi yang menghinggapi kuncup pucuk melati

Manalah mampu kuparuh hatimu dan menyodorkannya pada yang lain; adalah meminang kesedihan.
Serupa merubah biru menjadi abu. Lalu membiarkan waktu mati dengan caranya sendiri.


[3]
Musim telah berganti nama, kepada durja ia memilih hinggap
Birupun terlanjur menjelma abu
Tiada lagi rindu yang bersambut
Atau tawa yang mengobati risau hati paling putus asa
Sedu menderu, sedih merepih memilu

[4]
Kususuri tiap letih yang tertitih
Mengunyah waktu lalu meludahkannya dalam aliran parit mimpi burukku
Kulangitkan doa pada  Sang penggenggam Nyawa
Semoga dapat menjadi mantra bagi luka-luka hati yang masih menganga

Sabtu, 21 Januari 2012

Aku, Kau dan Laki-laki kita



Mengapa memposisikkan diri seperti musuh? Padahal kita belum kenal, hanya tau sekedarnya. Kau mengetahuiku dari dia, dan aku mengetahuimu juga dari dia. Lalu kemudian kita saling menjadi mata-mata. Sama-sama merasa nyeri karena ternyata kita mencintai laki-laki yang sama.

Aku tak tahu siapa yang menjadi orang ketiga. Aku di antara kalian, atau kamu yang di antara kami. Yang jelas aku tak mau menyulam tawa di atas airmata siapapun, termasuk kamu. Iya kamu. Aku juga wanita, sama sepertimu. Sakit yang kamu rasakan, aku juga sedang merasakan.

Oya, saat ini aku sedang berusaha mengusap setiap airmataku yang masih menggenang juga hatiku yang berdarah-darah. Aku ingin menyudahi semuanya, jangan ada lagi air mata yang menetes. Baik air mataku, atau airmatamu.
Sini sini, kemarilah, biar kuusap airmatamu. Bisakah kita saling mengusap airmata??