Wajahnya berbentuk tirus, matanya teduh, langsat
kulitnya ditutupi pucat dan sudah ditumbuhii keriput. Namun masih memiliki
dengan jelas sisa-sisa kecantikan masa
mudanya. Baginya ramadhan kali ini tidak bisa seperti ramadhan yang sudah-sudah
saat ia bisa dengan sesuka hati bertakarub dengan Sang Pemilik Hidup dalam
bulan di mana pahala digandakan. Kali
ini ia harus rela berbaring tanpa daya di rumah sakit dengan selang-selang di
hidung, saluran urin juga infus-infus yang mulai merajai urat-urat di tangan
lemahnya. Ditambah lagi bau obat-obatan yang
membuatnya mual dan merampas selera makan.
Sebenarnya kuat
hasratnnya untuk segera pulang, mengintimi ramadhan di rumah, mengaji dan
tarawih bersama teman-teman senjanya. Namun kangker di ususnya menggariskan
lain, ia harus pasrah dan meredam keinginannya dengan berbaring di ranjang
rumah sakit sambil menatapi petakan-petakan putih plafon yang bisu. Hanya
dzikir-dzikir parau yang mampu ia persembahkan sebagai bukti kesetian seorang
‘santri’ dalam madrasah seagung Ramadhan.
Kesebelas orang buah
hatinya dengan sabar bergiliran merawat,
menunggui serta tak lupa mendoakannya.
Bahkan keempat orang anaknya yang berada di luar pulaupun segera mengajukan
cuti untuk menemui ibu mereka yang
terbaring lemah di rumah sakit. Tetangga-tetangga, sanak famili dan orang-orang
mengenalnyapun tak henti berdatangan menjenguknya. Membawakan segenggam doa
juga sekeranjang buah-buahan yang sebenarnya tak bisa ia makan.
Ia bebaskan retinanya
melembari setiap wajah-wajah yang datang, namun dari sekian banyak orang yang
datang dan pergi menjenguknya, tak satupun ia dapati lelaki yang telah sekian lama mengisi bejana
cintanya. Lelaki yang pernah mengucapkan ijab kabul untuknya di depan penghulu
dan para saksi berpuluh-puluh tahun lalu. Lelaki yang telah memberikannya lima
orang anak Lelaki dan enam orang anak perempuan yang ia lahirkan dari rahim
garbanya . Lelaki yang dulu selalu menyelimuti dan menyejukkan jiwa juga
raganya kala gersang melanda sebab dicerai sang cuaca. Ya, lelaki itu suaminya.
Sekali lagi ia
bebaskan retinanya, kali ini ke arah jendela yang bening tanpa debu, lalu
ke pintu berlapis bahan stenlees yang
dingin dipukuli angin. Namun harapannya memudar tanpa jejak, suami yang
dinantinya tak kunjung tiba. Ia kembali diam, diam dalam rindu dan cintanya.
Rindu yang membuat hatinya seperti tak berada di tempatnya. Juga cinta yang
membuat keriput di kulitnya semakin banyak dan berkerut.
Beberapa waktu lalu memang telah terjadi konflik
antara keduanya. Mungkin konflik itulah yang menyebabkan keduanya memutuskan
tak lagi bertegur sapa. Suaminya lebih memilih tinggal di rumah salah seorang
anak mereka dan tidak lagi pulang ke rumah. Berulang kali satu persatu anak
mereka membujuk ayah mereka untuk pulang
ke rumah, namun nihil. Ayah mereka tetap tidak mau pulang. Hari ini salah satu
dari kesebelas buah hatinya kembali bersikeras membujuk ayah mereka untuk
datang ke rumah sakit, berharap
kedatangan ayah mereka mampu menjadi mantra bagi luka-luka yang tak kasat mata.
Namun tetap tak berhasil, ternyata kangker usus yang dideritanya tak mampu
mencairkan bekunya hati di diri sang suami
yang terlanjur membatu.
Tak mau merayakan idul fitri di
rumah sakit, iapun memaksa pulang ke rumah ehari sebelum lebaran. Padahal
kondisinya masih lemah. Namun ia bersikeras meminta pulang. Akhirnya
anak-anaknya mengijabah pemintaan ibu mereka, segala perawatan medispun dibeli
dan dibawa ke rumah. Termasuk tabung oksigen, ranjang pasien, kursi roda,
infuse dan entah masih banyak lagi yanglainnya. Beruntung salah satu
keponakannya adalahseorang perawat di salah satu rumah sakit suwastadi Pare,
jadi meskipun di rumah tapi selalu aa yang mengontrol keadaannya.
Satu syawal akhirnya tiba. Takbir menggema di setiap
sudut kampung melalui toa-toa tua. Semua cucunya kini ikut berkumpul
menmaninya. Namun lagi-lagi suami yang
dirindunya tak jua tiba. Ia tetap menanti, lelah jiwanya membuat tubuhnya
kosong, melompong hilang isi, hingga akhirnya fisiknya tak lagi sanggup melawan
ganasnya kangker yang telah akut.
Lalu, bersama adzan ashar yang begitu syahdu, satu jiwa kembali ke dalam
dekapan damai haribaan-Nya. Wanita tua
berwajah tirus itu kini telah meniti langkah menuju kehidupanyang lebih abadi.
Anak dan cucunya mendampingi
jasad tanpa ruh yang masih belum
kaku itu dengan doa dan air mata, namun
ternyata, di sudut lain tak jauh dari
rumah yang sedang berduka, ada seorang laki-laki tua yang baru terbuka hatinya
sedang menuju rumah duka itu, berharap bias merenda maaf dengan istrinya yang
ternyata telah tak bernyawa.
Tak bisa kubayangkan deburan sesal
yang menghantam dinding jiwa laki-laki tua itu saat mengetahui bahwa istrinya
yang tiba-tiba sangat dirindunya telah berpulang dengan rindu yang juga
terpendam.
***
Ramadhan tahun ini aku begitu sangat merindukan
wanita itu, tua berwajah tirus yang tak
lain adalah nenekku, namun rinduku hanya mampu kuungkapkan dalam doa yang
selalu kulangitkan. Allahummaghfirlaha
warhamha wa ‘afiha wa’fuanha.” Semoga Allah
mengampuninya, merahmatinya, memberikan keselamatan dan memaafkan kesalahannya.
Amin Allahumma amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar