Powered By Blogger

Jumat, 04 November 2011

Jalan Kematian



[Cerpen lama yang lupa diunggah]


Terdengar ketukan sepatu dari gegas langkah yang terasa memburu. Sejurus  kemudian  pintu dibuka, muncul seorang perawat dan laki-laki manis berpawakan tegap, keringat sebesar biji jagung menyembul dari dahinya. Raut kecemasan menghiasi  wajahnya. Dia Mas Hendra, laki-laki yang telah dua tahun mendampingi hidup saya, mengarungi suka dan duka dalam biduk yang bernama rumah tangga.

“Masya Allah, bunda..” suaranya mengagntung. Digenggamnya lembut tangan saya yang pasi. Ada telaga yang dipaksa untuk tidak keluar dari matanya.
“Calon bayi kita, yah” suara saya bergetar. “Maafkan bunda tidak bias menjaganya” ucap saya terbata-bata. Cairan bening menetes satu-satu dari mata saya.
“Sabar bunda, semua sudah ada yang mengatur. Kita berusaha mengikhlaskan  ya, Bund.” Ucapnya lembut. “Yang terpenting lain kali harus hati-hati” timpalnya lagi. Suaranya terdengar tabah, ditatapnya saya dengan tatapan meneduhkan,  seolah ingin mengantarkan berjuta energi yang menguatkan. Padahal saya tahu iapun remuk harus menerima kenyataan bahwa  impian untuk segera menimang buah hati  harus pupus.
“Tapi ayah kan sudah sangat….” ucapsaya terputus. Telunjuk mas Hendra menyilang di bibir saya
“Ssssstt….. Kita ikhlaskan ya, bund” tenagnya berkali-kali sambil menyeka air mata saya.

            Tadi pagi saat akan berangkat ke SLB tempat saya mengajar, motor saya tertabrak pengendara motor lain yang berniat menghindari lubang pada ruas jalan. Akibatnya saya terpelanting menabrak trotoar dan mengalami pendarahan. Warga yang berkerumun segera melarikan saya ke rumah sakit.

            Saya menyesal tidak mengindahkan pesan Mas Hendra untuk berangkat ke sekolah lewat jalur dalam yang walaupun membutuhkan waktu setengah jam lebih lama namun kondisi jalannya lumayan mulus.  Saya malah memilih lewat jalur kota yang kondisi jalannya  sekarang banyak berlubang. Menghemat waktu alasan saya.  Sekarang kalau sudah begini saya hanya bias menangis. Seperti menelan ribuan pil pahit rasanya.

            Masih segar dalam ingatan saya, sembilan minggu yang lalu saat bidan yang memeriksa saya mengatakan kalau saya hamil, kalimat syukur langsung meluncur dari bibir kami berdua. Mas Hendra sangat bahagia, aku dapat melihat dari sorot matanya. Ada bintang gemintang bertabur di sana .

            Esoknya, sepulang dari BMT tempatnya bekerja, ia menghadiahiku berbagai buku tentang merawat kehamilan dan bayi. Diantaranya: Pintar Mengasuh Batita karangan dr. Suririnah; Panduan Pintar Hamil dan Melahirkan, karangan Dewi Cendika ZR; Tetap bugar dan Energik Saat Hamil, karangan Ova Emilia; Panduan Lengkap Merawat Kehamilan, karangan Wendy Rose Neil dan Kehamilan Hari demi Hari karangan Stuart Compbell. Hari itu juga, buku Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan, karangan Wendy Rose Neil yang berjumlah 208 halaman itu tandas saya baca.

            Kami juga berencana melakukan hypno birthing,  yaitu salah satu teknik untuk mengurangi kecemasan berlebihan pada ibu hamil.  Teknik ini digagas oleh dr. Frans Anton Mesmar, seorang dokter berkebangsaan Australia .  Di Indonesia sendiri, teknik hypno birthing ini dipopulerkan oleh Lanny Kuswandy, seorang bidan yang mendalami ilmu clinical hypnoterapi di Australia.

            Tak ketinggalan kami berdua juga sudah mencari nama untuk buah hati kami. Buah hati yang telah dua tahun kami nanti tangisnya menggema di rumah kami yang belum lunas cicilannya.
            Sesak dada saya mengingat hal itu. Saya benamkan kepala saya di dada Mas Hendra. Airmata saya kembali menetes. Kali ini makin deras.

***

“Bunda jangan banyak aktivitas dulu ya” peasan Mas Hendra di sela-sela sarapan.
“tapi sebetulnya bunda sudah merasa baikan lo, yah. Bunda juga sudah kangen sekali dengan murid-murid di sekolah” protes saya.
“iya, tapi pesan dokter bunda masih perlu istirahat beberapa hari lagi, luka bunda juga masih ada yang belum kering kan ?” ucapnya hati-hati.
“lagi pula pihak sekolah kan masih memberi izin sampai minggu depan. Lanjutnya.
Aku  terdiam lama. Memajukan bibirku.
“Lo.. kok cemberrut  gitu? Ayah mengerti perasaan Bunda yang nggak betah kalau nggak kerja” kata Mas Hendra memahami saya.
“Tapi ini semua demi kebaikan kita bersama, bunda. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan bunda, ayahlah orang yang paling sedih dan bertanggungjawab.” Ujar Mas Hendra lembut. Keteduhan matanya meredakan penolakan yang disuarakan hati saya.
Manyun di bibir saya  berganti menjadi senyum simetris. Saya rangkul tubuhnya. Hangat.

***


            Sudah empat hari saya berhibernasi di rumah. Bosan sekali rasanya. Terlebih saat Mas Hedra bekerja. Pekerjaannya sebagai ketua cabang BMT membuatnya harus stand by di kantor dari pukul 08:00  sampai pukul 15:00.

            Saya menghempaskan tubuh saya ke sofa. Menarik nafas panjang. Clingak clinguk kemudian menyambar remote televise di samping saya. Saya tekan tombol  power.  Acara gosip selebriti. Kembali saya pencet-pencet tombol remote, mencari acara yang menarik. Berita siang kali ini menjadi pilihan saya. Mimiik saya berubah srius saat menonton berita tentang seorang wanita  paruh baya dan anak perempuan yang tertabrak puso.  Mereka berdua diduga terjatuh dari motor karena tidak sempat mengindari lubang jalan yang agak dalam, naas puso di belakang mereka tidak kuasa menginjak rem dan menabrak mereka berdua yang ternyata adalah ibu dan anak. Keduanya tewas di tempat. Rusaknya jalan raya menimbulkan korban lagi hari ini. Ini baru berita yang kebetulan saya tahu, mungkin di tempat lain juga ada hal serupa yang tak sempat terliput media.

Mata saya makin membulat manakala mengetahut identitas korban. Wanita paruh baya itu adalah Ibu Maryana dan anak perempuan yang bersamanya adalah Loleeta, gadis berusia tigabelas tahun yang merupakan salah satu murid saya di SLB.

            Nafas saya memburu, gemetar tangan saya merogoh saku, mencari handphone. Memastikan kebenaran apa yang saya saksikan di televisi dengan menghubungi teman sekantor saya. Saya tidak kuasa menahan airmata saat suara di ujung telpon membenarkan berita tersebut. Hati saya gerimis. Miris.

***

“Bunda pengen kayak Dzhennet Abdurakhmanova deh, yah. Lantur saya sore itu.
Mas hendra menoleh kea rah saya sambil mengkrenyitkan alisnya lalu kembali asik dengan laptopnya,  menjelajah dunia maya.
“Iya, Dzhennet Abdurakhmanova. Itu loh yah janda dari Umalat Mago Medov, berusia  17  tahun asal Dagestan, Kaukasus Utara yang melakukan bom bunuh diri di kereta metro di Moskow.” Ujar saya berapi-api.
“Kabarnay si Dzhannet ini anggota dari black widow, black widow sendiri adalah sebutan untuk janda-janda pejuang Checnya yang suaminya tewas dalam perang Checnya melawan Rusia. Nah.. bunda pengen ikut-ikutan kayah Si Dzhennet Abdurakhmanova ini, Cuma bukan di kereta  tapi di gedung DPR” cerocos saya tanpa henti.
“Ngomong apa to, bun. Apa hubungannya sama gedug DPR? Mbok nyebut gitu lo, ”Kali ini Mas Hendra menatap saya utuh dan mengalihkan laptopnya.
“Habisnya Bunda sebel deh sama pemerintah kita, banyak jalan yang berlubang bukannya dibetuli malah sibuk plesiran ke luar negeri dan mau bikin gedung DPR baru” ucap saya asal.
“Bunda.. bunda..” jawabnya sambil tersenyum.
“Idiiih kok malah senyum gitu sih, Yah?” balas saya kesal.
“Bunda sih ngomongnya jadi ngelantur, Gini lo Bund, sebetulnya pemerintah kita itu sudah mengalokasikan dana untuk perbaikan jalan-jalan yang rusak, hanya saja bila dilihat dari hasil yang sudah-sudah, apa yang dibuat itu tidak sebanding dengan besarnya dana yang dialokasikan. Banyak faktor yang menyebabkan semua itu, diantaranya ada tangan-tangan jahil yang ingin meraup keuntungan dengan jalan yang kotor. Makanya sering kita jumpai jalan yang baru beberapa bulan diperbaiki sudah rusak lagi” Jelasnya. Saya hanya manggut-manggut. “Menurut Ayah, dipandang dari  sudut manapun melakukan aksi bom bunuh diri itu adalah salah. Karna dapat melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Dan bla  bla bla bla…” Jelasnya panjang lebar. Saya yang dijelaskan sudah pulas dalam dengkur panjang.

***

            Tanpa izin suami hari ini saya akan menemui teman-teman yang sudah saya kenal beberapa waktu lalu. Sesampainya di sana kami berdiskusi sebentar, mematangkan rencana besar yang sudah kami gagas dan sangat rahasia. Setelah diskusi selesai saya didandani dengan seragam cleaning servis untuk memuluskan rencana kami. Kemudian dengan taksi saya diantarkan menuju gedung yang ditargetkan. Saya memasuki gedung itu dengan pasti. Rangkaian bom rapih melilit tubuh saya. Saya lirik arloji di tangan saya, hadiah ulang tahun pernikahan dari Mas Hendra.

Pukul 08: 50. berarti waktu tinggal 10 menit lagi. yang ada dalam pikiran saya saat itu hanya hilangnya janin saya dan murid saya Loleeta bersama ibunya yang harus tamat riwayatnya karna kerja pemerintah yang tidak serius membenahi jalan.

Banyak pria berjas rapi lalu lalang di depan saya. Dengan membawa alat pembersih saya sedikit merapat ke arah mereka berkerumun. Jantung saya terasa lebih cepat melajunya. Tepat pukul 09:00 ledakan dahsyat terdengar memekakkan telinga. Asap mengepul memenuhi ruang yang sudah tidak karuan bentuknya. Sempat saya dengar suara panik dan jeritan puluhan orang. Dan tiba tiba saja senyum Mas Hendra hadir, senyum yang akan selalu kurindui. Seketika hawa dingin langsung menyergapi pori-pori pipi saya.

“Bunda, bangun yuk,  ” Suara Mas Hendra lembut, tangannya yang dingin habis berwudhu ditempelkan ke pipi saya.
“Bunda, Sudah hampir subuh lo”  Ujarnya lagi.
Saya mengucek-ngucek mata yang masih susah melek. Saya lempar pandangan saya ke sekeliling. Loh inikan kamar tidur saya, gumam hati saya sambil kebingungan.
Dan laki-laki di depan saya yang agak mirip Agus Harimurti Yudhoyono ini kan Mas hendra, Suami saya. Terus suara bom tadi? Batin saya makin bingung.
Saya mengucek mata sekalil lagi. melirik-lirik kanan dan kiri. Oalah ternyata tadi itu cuma mimpi, gumam saya dalam hati. Saya mesem-mesem sendiri. Mas Hendra mungkin terheran melihat keanehan istrinya yang kata tetangga-tetangga dan tukang jamu keliling agak mirip Kadek Dewi. *Ngeeeeeeeeeeeek. :D

            Ternyata obrolan saya kemarin sore dengan Mas Hendra sampai kebawa dalam mimpi. Tapi untung cuma mimpi. Jangan sampai janya nyata deh. Karna saya setuju sekali apa yang dikatakan Mas Hendra bahwa dipandang dari  sudut manapun melakukan aksi bom bunuh diri itu adalah salah. Karna dapat melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Tapi tetap saja, saya masih jengkel kalau jalan yang masih berlubang itu masih tetap lebar menganga. Saya sangat berharap jalan-jalan yang berlubang itu segera diperbaiki, sehingga tidak menjadi jalan yang menyebabkan kematian karna banyak korban yang berjatuhan. Semoga semilir angin sore ini dapat mengantarkan harapan saya pada mereka yang memiliki kuasa. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar