[Cerpen lama yang lupa diunggah]
Terdengar
ketukan sepatu dari gegas langkah yang terasa memburu. Sejurus
kemudian pintu dibuka, muncul seorang perawat dan laki-laki manis
berpawakan tegap, keringat sebesar biji jagung menyembul dari dahinya.
Raut kecemasan menghiasi wajahnya. Dia Mas Hendra, laki-laki yang telah
dua tahun mendampingi hidup saya, mengarungi suka dan duka dalam biduk
yang bernama rumah tangga.
“Masya Allah, bunda..” suaranya
mengagntung. Digenggamnya lembut tangan saya yang pasi. Ada telaga yang
dipaksa untuk tidak keluar dari matanya.
“Calon bayi kita, yah”
suara saya bergetar. “Maafkan bunda tidak bias menjaganya” ucap saya
terbata-bata. Cairan bening menetes satu-satu dari mata saya.
“Sabar
bunda, semua sudah ada yang mengatur. Kita berusaha mengikhlaskan ya,
Bund.” Ucapnya lembut. “Yang terpenting lain kali harus hati-hati”
timpalnya lagi. Suaranya terdengar tabah, ditatapnya saya dengan tatapan
meneduhkan, seolah ingin mengantarkan berjuta energi yang menguatkan.
Padahal saya tahu iapun remuk harus menerima kenyataan bahwa impian
untuk segera menimang buah hati harus pupus.
“Tapi ayah kan sudah sangat….” ucapsaya terputus. Telunjuk mas Hendra menyilang di bibir saya
“Ssssstt….. Kita ikhlaskan ya, bund” tenagnya berkali-kali sambil menyeka air mata saya.
Tadi pagi saat akan berangkat ke SLB tempat saya mengajar, motor saya
tertabrak pengendara motor lain yang berniat menghindari lubang pada
ruas jalan. Akibatnya saya terpelanting menabrak trotoar dan mengalami
pendarahan. Warga yang berkerumun segera melarikan saya ke rumah sakit.
Saya menyesal tidak mengindahkan pesan Mas Hendra untuk berangkat ke
sekolah lewat jalur dalam yang walaupun membutuhkan waktu setengah jam
lebih lama namun kondisi jalannya lumayan mulus. Saya malah memilih
lewat jalur kota yang kondisi jalannya sekarang banyak berlubang.
Menghemat waktu alasan saya. Sekarang kalau sudah begini saya hanya
bias menangis. Seperti menelan ribuan pil pahit rasanya.
Masih segar dalam ingatan saya, sembilan minggu yang lalu saat bidan
yang memeriksa saya mengatakan kalau saya hamil, kalimat syukur langsung
meluncur dari bibir kami berdua. Mas Hendra sangat bahagia, aku dapat
melihat dari sorot matanya. Ada bintang gemintang bertabur di sana .
Esoknya, sepulang dari BMT tempatnya bekerja, ia menghadiahiku berbagai
buku tentang merawat kehamilan dan bayi. Diantaranya: Pintar Mengasuh
Batita karangan dr. Suririnah; Panduan Pintar Hamil dan Melahirkan,
karangan Dewi Cendika ZR; Tetap bugar dan Energik Saat Hamil, karangan
Ova Emilia; Panduan Lengkap Merawat Kehamilan, karangan Wendy Rose Neil
dan Kehamilan Hari demi Hari karangan Stuart Compbell. Hari itu juga,
buku Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan, karangan Wendy Rose Neil yang
berjumlah 208 halaman itu tandas saya baca.
Kami juga berencana melakukan hypno birthing, yaitu salah satu teknik
untuk mengurangi kecemasan berlebihan pada ibu hamil. Teknik ini
digagas oleh dr. Frans Anton Mesmar, seorang dokter berkebangsaan
Australia . Di Indonesia sendiri, teknik hypno birthing ini
dipopulerkan oleh Lanny Kuswandy, seorang bidan yang mendalami ilmu
clinical hypnoterapi di Australia.
Tak ketinggalan
kami berdua juga sudah mencari nama untuk buah hati kami. Buah hati yang
telah dua tahun kami nanti tangisnya menggema di rumah kami yang belum
lunas cicilannya.
Sesak dada saya mengingat hal itu.
Saya benamkan kepala saya di dada Mas Hendra. Airmata saya kembali
menetes. Kali ini makin deras.
***
“Bunda jangan banyak aktivitas dulu ya” peasan Mas Hendra di sela-sela sarapan.
“tapi sebetulnya bunda sudah merasa baikan lo, yah. Bunda juga sudah kangen sekali dengan murid-murid di sekolah” protes saya.
“iya,
tapi pesan dokter bunda masih perlu istirahat beberapa hari lagi, luka
bunda juga masih ada yang belum kering kan ?” ucapnya hati-hati.
“lagi pula pihak sekolah kan masih memberi izin sampai minggu depan. Lanjutnya.
Aku terdiam lama. Memajukan bibirku.
“Lo.. kok cemberrut gitu? Ayah mengerti perasaan Bunda yang nggak betah kalau nggak kerja” kata Mas Hendra memahami saya.
“Tapi
ini semua demi kebaikan kita bersama, bunda. Kalau sampai terjadi
apa-apa dengan bunda, ayahlah orang yang paling sedih dan
bertanggungjawab.” Ujar Mas Hendra lembut. Keteduhan matanya meredakan
penolakan yang disuarakan hati saya.
Manyun di bibir saya berganti menjadi senyum simetris. Saya rangkul tubuhnya. Hangat.
***
Sudah empat hari saya berhibernasi di rumah. Bosan sekali rasanya.
Terlebih saat Mas Hedra bekerja. Pekerjaannya sebagai ketua cabang BMT
membuatnya harus stand by di kantor dari pukul 08:00 sampai pukul 15:00.
Saya menghempaskan tubuh saya ke sofa. Menarik nafas panjang. Clingak
clinguk kemudian menyambar remote televise di samping saya. Saya tekan
tombol power. Acara gosip selebriti. Kembali saya
pencet-pencet tombol remote, mencari acara yang menarik. Berita siang
kali ini menjadi pilihan saya. Mimiik saya berubah srius saat menonton
berita tentang seorang wanita paruh baya dan anak perempuan yang
tertabrak puso. Mereka berdua diduga terjatuh dari motor karena tidak
sempat mengindari lubang jalan yang agak dalam, naas puso di belakang
mereka tidak kuasa menginjak rem dan menabrak mereka berdua yang
ternyata adalah ibu dan anak. Keduanya tewas di tempat. Rusaknya jalan
raya menimbulkan korban lagi hari ini. Ini baru berita yang kebetulan
saya tahu, mungkin di tempat lain juga ada hal serupa yang tak sempat
terliput media.
Mata saya makin membulat manakala
mengetahut identitas korban. Wanita paruh baya itu adalah Ibu Maryana
dan anak perempuan yang bersamanya adalah Loleeta, gadis berusia
tigabelas tahun yang merupakan salah satu murid saya di SLB.
Nafas saya memburu, gemetar tangan saya merogoh saku, mencari
handphone. Memastikan kebenaran apa yang saya saksikan di televisi
dengan menghubungi teman sekantor saya. Saya tidak kuasa menahan airmata
saat suara di ujung telpon membenarkan berita tersebut. Hati saya
gerimis. Miris.
***
“Bunda pengen kayak Dzhennet Abdurakhmanova deh, yah. Lantur saya sore itu.
Mas hendra menoleh kea rah saya sambil mengkrenyitkan alisnya lalu kembali asik dengan laptopnya, menjelajah dunia maya.
“Iya,
Dzhennet Abdurakhmanova. Itu loh yah janda dari Umalat Mago Medov,
berusia 17 tahun asal Dagestan, Kaukasus Utara yang melakukan bom
bunuh diri di kereta metro di Moskow.” Ujar saya berapi-api.
“Kabarnay
si Dzhannet ini anggota dari black widow, black widow sendiri adalah
sebutan untuk janda-janda pejuang Checnya yang suaminya tewas dalam
perang Checnya melawan Rusia. Nah.. bunda pengen ikut-ikutan kayah Si
Dzhennet Abdurakhmanova ini, Cuma bukan di kereta tapi di gedung DPR”
cerocos saya tanpa henti.
“Ngomong apa to, bun. Apa hubungannya
sama gedug DPR? Mbok nyebut gitu lo, ”Kali ini Mas Hendra menatap saya
utuh dan mengalihkan laptopnya.
“Habisnya Bunda sebel deh sama
pemerintah kita, banyak jalan yang berlubang bukannya dibetuli malah
sibuk plesiran ke luar negeri dan mau bikin gedung DPR baru” ucap saya
asal.
“Bunda.. bunda..” jawabnya sambil tersenyum.
“Idiiih kok malah senyum gitu sih, Yah?” balas saya kesal.
“Bunda
sih ngomongnya jadi ngelantur, Gini lo Bund, sebetulnya pemerintah kita itu sudah
mengalokasikan dana untuk perbaikan jalan-jalan yang rusak, hanya saja bila dilihat dari hasil yang sudah-sudah, apa yang dibuat itu
tidak sebanding dengan besarnya dana yang dialokasikan. Banyak faktor
yang menyebabkan semua itu, diantaranya ada tangan-tangan jahil yang
ingin meraup keuntungan dengan jalan yang kotor. Makanya sering kita
jumpai jalan yang baru beberapa bulan diperbaiki sudah rusak lagi”
Jelasnya. Saya hanya manggut-manggut. “Menurut Ayah, dipandang dari
sudut manapun melakukan aksi bom bunuh diri itu adalah salah. Karna
dapat melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Dan bla bla bla
bla…” Jelasnya panjang lebar. Saya yang dijelaskan sudah pulas dalam
dengkur panjang.
***
Tanpa izin suami
hari ini saya akan menemui teman-teman yang sudah saya kenal beberapa
waktu lalu. Sesampainya di sana kami berdiskusi sebentar, mematangkan
rencana besar yang sudah kami gagas dan sangat rahasia. Setelah diskusi
selesai saya didandani dengan seragam cleaning servis untuk memuluskan
rencana kami. Kemudian dengan taksi saya diantarkan menuju gedung yang
ditargetkan. Saya memasuki gedung itu dengan pasti. Rangkaian bom rapih
melilit tubuh saya. Saya lirik arloji di tangan saya, hadiah ulang tahun
pernikahan dari Mas Hendra.
Pukul 08: 50. berarti waktu
tinggal 10 menit lagi. yang ada dalam pikiran saya saat itu hanya
hilangnya janin saya dan murid saya Loleeta bersama ibunya yang harus
tamat riwayatnya karna kerja pemerintah yang tidak serius membenahi
jalan.
Banyak pria berjas rapi lalu lalang di depan saya.
Dengan membawa alat pembersih saya sedikit merapat ke arah mereka
berkerumun. Jantung saya terasa lebih cepat melajunya. Tepat pukul 09:00 ledakan dahsyat terdengar memekakkan
telinga. Asap mengepul memenuhi ruang yang sudah tidak karuan bentuknya.
Sempat saya dengar suara panik dan jeritan puluhan orang. Dan tiba tiba saja senyum Mas
Hendra hadir, senyum yang akan selalu kurindui. Seketika hawa dingin langsung menyergapi pori-pori pipi saya.
“Bunda, bangun yuk, ” Suara Mas Hendra lembut, tangannya yang dingin habis berwudhu ditempelkan ke pipi saya.
“Bunda, Sudah hampir subuh lo” Ujarnya lagi.
Saya
mengucek-ngucek mata yang masih susah melek. Saya lempar pandangan saya
ke sekeliling. Loh inikan kamar tidur saya, gumam hati saya sambil kebingungan.
Dan
laki-laki di depan saya yang agak mirip Agus Harimurti Yudhoyono ini kan
Mas hendra, Suami saya. Terus suara bom tadi? Batin saya makin bingung.
Saya
mengucek mata sekalil lagi. melirik-lirik kanan dan kiri. Oalah ternyata
tadi itu cuma mimpi, gumam saya dalam hati. Saya mesem-mesem sendiri. Mas Hendra mungkin terheran melihat keanehan istrinya yang kata tetangga-tetangga dan tukang jamu keliling agak mirip Kadek Dewi. *Ngeeeeeeeeeeeek. :D
Ternyata obrolan saya kemarin sore dengan Mas Hendra sampai kebawa
dalam mimpi. Tapi untung cuma mimpi. Jangan sampai janya nyata deh.
Karna saya setuju sekali apa yang dikatakan Mas Hendra bahwa dipandang
dari sudut manapun melakukan aksi bom bunuh diri itu adalah salah.
Karna dapat melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Tapi tetap
saja, saya masih jengkel kalau jalan yang masih berlubang itu masih
tetap lebar menganga. Saya sangat berharap jalan-jalan yang berlubang
itu segera diperbaiki, sehingga tidak menjadi jalan yang menyebabkan
kematian karna banyak korban yang berjatuhan. Semoga semilir angin sore
ini dapat mengantarkan harapan saya pada mereka yang memiliki kuasa.
Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar