Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu
mengatakan “tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena
itu, tidaklah musibah itu hilang melainkan karena taubat. (Al Jawabul Kafi, h. 87)
Bencana
demi bencana kembali menimpa bumi pertiwi, mulai dari tsunami, banjir bandang,
gempa bumi sampai gunung meletus datang silih berganti dan menyisakan kisah
pilu yang menyayat hati. Ratusan orang kehilangan keluarga dan tempat tinggal
serta meninggalkan trauma yang mendalam.
Bencana
beruntun itu terjadi bukan tanpa sebab. Selain takdir Tuhan, berdasarkan kajian
ilmiah, dari serangkaian bencana yang kita alami faktor penyebabnya tak lepas
dari keserakahan manusia terhadap alam. Penggundulan hutan adalah salah satu
bukti nyata penyebab banjir bandang dan penyumbang
besar emisi gas rumah kaca yang
terjadi di bumi pertiwi. Kalau saja hutan tidak dirusak, hutan
tidak dieksploitasi, maka curah hujan tidak akan menjadi bencana alam banjir
bandang. Sebab, alam dapat menampung curah hujan dan menyimpannya dalam waktu
lama di dalam perut bumi. Tapi bila sudah tidak ada pepohonan lagi, maka curah
hujan langsung menuju sungai dan sungai pun tak mampu menampung derasnya debit
air, sehingga menjadi banjir bandang. Memang hujan deras bisa mengakibatkan
banjir, namun tidak akan menjadi banjir bandang bila kondisi ekosistem alam dan
hutan di sekitarnya dapat dipelihara dengan baik.
Menjaga kelestarian hutan adalah
kewajiban kita bersama, terlebih penduduk yang tinggal di sekitar hutan juga
harus ikut berpartisipasi dalam pengawasan pembalakan liar yang terjadi pada
hutan-hutan di tanah air dengan cara melapor ke pihak yang berwajib apabila
mengetahui ada oknum-oknum nakal yang secara individu ataupun kolektif
melakukan pembalakan liar. Selain itu dinas kabupaten dan kota juga harus lebih proaktif menindak tegas
para pelaku yang melakukan pengrusakan terhadap hutan yang menjadi pemicu utama
emisi gas rumah kaca dan bencana banjir bandang yang terjadi di beberapa daerah
di tanah air.
Dan
Merasa didorong oleh keprihatinan yang mendalam atas apa yang dialami bangsa
ini, beberapa masyarakat di tanah air mengadakan ruwatan. Ruwatan itu cerminan dari wawasan kosmologi orang
Jawa yang menganggap hidup ini merupakan jalinan harmonis fungsional antara
elemen manusia dan alam semesta. Kurang lebih
bertujuan untuk membebaskan diri dari segala keruwetan dan bebendu (bala
bencana) yang begitu melilit leher bangsa kita.
Saya
kira sudah lama kita hidup di zaman kala bendu: zaman penuh cobaan, penuh
bencana, dan malapetaka. Kita melenggang
dalam hidup dengan menabrak tata krama alam, tata krama kosmos, tata krama
sosial, tat krama politik, tata krama hukum, tata krama etika, agama dan budaya. Sudah lama sebenarnya kita
meninggalkan tata krama, maka sebagai akibatnya kita ditinggalkan oleh alam yang mengatur tata krama itu.
Tak
mau ketinggalan, kaum nahdiyin pun menggelar istighosah untuk memohon pertolongan
kepada Allah atas berbagai bencana yang menimpa bangsa kita. Istighosah adalah
doa yang dipanjatkan kepada Allah karena keadaan yang genting dan darurat.
Tentu implikasinya orang yang beristighosah benar-benar dalam keadaan tunduk
merendahkan diri penuh harap kepada Allah. Memohon ampunan dan memuji asma-Nya.
Seperti
perkataan Ali bin
Abi Thalib radhiallahu’anhu yang saya kutip di atas “tidaklah musibah tersebut
turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah musibah itu hilang
melainkan karena taubat”. Bumi ini marah karena ulah penghuninya yang terlau
banyak memanggul dosa. Mungin karena dosa mereka yang serakah, kejam, culas,
berbuat aniaya dan berbahaya bagi manusia lain. Mungkin karena hamba-hamba yang
ingkar dan kufur atas nikmat Tuhannya,
anak yang durhaka terhadap orang tua, pedagang yang culas, rentenir yang sudah
tidak takut lagi memakan uang riba, penyuka sesama jenis dan seks bebas yang
sudah tidak malu lagi beraksi di depan umum, pejabat yang rakus, yang tiap saat
nafsunya membayangkan jabatan yang lebih tinggi, politisi yang dari hari ke
hari didera nafsu menerkam lawan
politiknya seperti singa-singa di padang sahara melahap mangsanya ataupun koruptor
yang merampas hak-hak rakyat. Kita tidak
lagi hidup di atas ukuran keindahan. Kegetiran ini sudah kita alami
selama bertahun-tahun. Semua ini membutakan kita dari keharusan bekerja sama
untuk menjalin kesatuan dan kesamaan visi mengatasi masalah bersama.
Maka bila kita menginginkan
keadaan ini semakin membaik, mari kita mulai mengintrospeksi diri, kita tidak
perlu saling menyalahkan. Kesadaranlah yang saat ini kita perlukan. Khususnya
bila kita mulai sadar bahwa kita menyandang kesalahan, bahwa kita berdosa,
bahwa kita otoriter, bahwa kita menindas, bahwa kita merampas hak-hak orang
lain, bahwa kita melanggar hukum, bahwa kita korup, garong, maling, perampok,
manipulator, tidak konsisten dan tidak otentik,
dan bahwa kita lebih banyak berkata-kata tapi tidak berkarya.
Sebenarnya Tuhan selalu berkata-kata kepada kita setiap
saat, melalui berbagai peristiwa, termasuk gempa bumi, tsunami, banjir bandang
dan letusan merapi yang terjadi kali
ini, tapi sayang kita sering tak punya telinga untuk mendengarkannya. Maka bagi
kita yang hari ini punya telinga patut memperbaikinya mulai dari diri sendiri.
Mulai sekarang stop pembalakan liar, stop membuang sampah di sungai, stop
berlaku korup, merampas hak-hak rayat, dan segala perbuatan yang merugikan diri sendiri
apalagi orang lain.
Namun
usaha untuk membidani kelahiran kembali alam Indonesia yang indah ini tentu bukan perkara mudah, maka dibutuhkn
kesadaran bagi setiap individu untuk ikut berpartisipasi menjaganya. Apa yang
belum tercapai di masa lalu kita perbaiki hari ini, dan kekurangan hari ini
kita berusaha memperbaikinya esok.
Maka
marilah kita merenung dan menilai kembali apa yang salah dan apa yang patut
disukuri dalam diri kita. Tak ada seorang pun di dunia ini yang
bisa mengingkari kemurkaan alam. Maka saatnya kita peduli dengan lingkungan. Mari
mulai bersahabat dengan alam, karena bumi ini masih menyisakan banyak keindahan untuk
dirawat terus, agar semua pihak bisa ikut menikmatinya. Termasuk menjaga indahnya
berlaku jujur, amanah, indahnya kerukunan, indahnya persahabatan, indahnya
gotong royong, indahnya menjaga keluhuran budi, indahnya kiriman sedekah berupa
senyum, sedekah paling murah namun halal dan berpahala.
Istighosah
tentu bagus, sebab mestinya sudah didahului istikharah(mohon petunjuk), dan
lebih mulia disambung dengan istiqomah (konsisten) untuk tidak mengulangi
kesalahan yang sama, dan terus berusaha berbuat kebaikan dan bersahabat dengan
alam. Bila masih ada
yang kurang, maka disulam dngan istighfar (mohon ampunan).
Kita,
mungkin terutama para pemimpin bangsa, telah lama terlalu sering berbohong dan
tidak amanah. Melahirkan kebohongan dan percaya apa yang bohong sebagai
kebenaran. Kita terlalu lama terbelenggu oleh nafsu dan segenap ambisi pribadi,
maka nampaknya kita lebih perlu meruwat diri kita sendiri agar bumi yang
kita singgahi, yang airnya kita minum bersama ini semakin nyaman dan enak
dihuni.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar