Powered By Blogger

Minggu, 20 November 2011

ISTIGHOSAH, ISTIKHARAH, ISTIQOMAH DAN ISTIGHFAR UNTUK NEGRIKU


Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu mengatakan “tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah musibah itu hilang melainkan karena taubat. (Al Jawabul Kafi, h. 87)

            Bencana demi bencana kembali menimpa bumi pertiwi, mulai dari tsunami, banjir bandang, gempa bumi sampai gunung meletus datang silih berganti dan menyisakan kisah pilu yang menyayat hati. Ratusan orang kehilangan keluarga dan tempat tinggal serta meninggalkan trauma yang mendalam.

            Bencana beruntun itu terjadi bukan tanpa sebab. Selain takdir Tuhan, berdasarkan kajian ilmiah, dari serangkaian bencana yang kita alami faktor penyebabnya tak lepas dari keserakahan manusia terhadap alam. Penggundulan hutan adalah salah satu bukti nyata penyebab banjir bandang dan penyumbang besar emisi gas rumah kaca yang terjadi di bumi pertiwi. Kalau saja hutan tidak dirusak, hutan tidak dieksploitasi, maka curah hujan tidak akan menjadi bencana alam banjir bandang. Sebab, alam dapat menampung curah hujan dan menyimpannya dalam waktu lama di dalam perut bumi. Tapi bila sudah tidak ada pepohonan lagi, maka curah hujan langsung menuju sungai dan sungai pun tak mampu menampung derasnya debit air, sehingga menjadi banjir bandang. Memang hujan deras bisa mengakibatkan banjir, namun tidak akan menjadi banjir bandang bila kondisi ekosistem alam dan hutan di sekitarnya dapat dipelihara dengan baik.

 Menjaga kelestarian hutan adalah kewajiban kita bersama, terlebih penduduk yang tinggal di sekitar hutan juga harus ikut berpartisipasi dalam pengawasan pembalakan liar yang terjadi pada hutan-hutan di tanah air dengan cara melapor ke pihak yang berwajib apabila mengetahui ada oknum-oknum nakal yang secara individu ataupun kolektif melakukan pembalakan liar. Selain itu dinas kabupaten dan kota juga harus lebih proaktif menindak tegas para pelaku yang melakukan pengrusakan terhadap hutan yang menjadi pemicu utama emisi gas rumah kaca dan bencana banjir bandang yang terjadi di beberapa daerah di tanah air.

            Dan Merasa didorong oleh keprihatinan yang mendalam atas apa yang dialami bangsa ini, beberapa masyarakat di tanah air mengadakan ruwatan. Ruwatan itu cerminan dari wawasan kosmologi orang Jawa yang menganggap hidup ini merupakan jalinan harmonis fungsional antara elemen manusia dan alam semesta.  Kurang lebih bertujuan untuk membebaskan diri dari segala keruwetan dan bebendu (bala bencana) yang begitu melilit leher bangsa kita.
                       
            Saya kira sudah lama kita hidup di zaman kala bendu: zaman penuh cobaan, penuh bencana, dan  malapetaka. Kita melenggang dalam hidup dengan menabrak tata krama alam, tata krama kosmos, tata krama sosial, tat krama politik, tata krama hukum, tata krama etika, agama dan  budaya. Sudah lama sebenarnya kita meninggalkan tata krama, maka sebagai akibatnya kita ditinggalkan  oleh alam yang mengatur tata krama itu.
           
            Tak mau ketinggalan, kaum nahdiyin pun menggelar istighosah untuk memohon pertolongan kepada Allah atas berbagai bencana yang menimpa bangsa kita. Istighosah adalah doa yang dipanjatkan kepada Allah karena keadaan yang genting dan darurat. Tentu implikasinya orang yang beristighosah benar-benar dalam keadaan tunduk merendahkan diri penuh harap kepada Allah. Memohon ampunan dan memuji asma-Nya.

            Seperti perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu yang saya kutip di atas “tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah musibah itu hilang melainkan karena taubat”. Bumi ini marah karena ulah penghuninya yang terlau banyak memanggul dosa. Mungin karena dosa mereka yang serakah, kejam, culas, berbuat aniaya dan berbahaya bagi manusia lain. Mungkin karena hamba-hamba yang ingkar dan  kufur atas nikmat Tuhannya, anak yang durhaka terhadap orang tua, pedagang yang culas, rentenir yang sudah tidak takut lagi memakan uang riba, penyuka sesama jenis dan seks bebas yang sudah tidak malu lagi beraksi di depan umum, pejabat yang rakus, yang tiap saat nafsunya membayangkan jabatan yang lebih tinggi, politisi yang dari hari ke hari  didera nafsu menerkam lawan politiknya seperti singa-singa di padang sahara melahap mangsanya ataupun koruptor yang merampas hak-hak rakyat. Kita  tidak lagi hidup di atas ukuran keindahan. Kegetiran ini sudah kita alami selama bertahun-tahun. Semua ini membutakan kita dari keharusan bekerja sama untuk menjalin kesatuan dan kesamaan visi mengatasi masalah bersama.

Maka bila kita menginginkan keadaan ini semakin membaik, mari kita mulai mengintrospeksi diri, kita tidak perlu saling menyalahkan. Kesadaranlah yang saat ini kita perlukan. Khususnya bila kita mulai sadar bahwa kita menyandang kesalahan, bahwa kita berdosa, bahwa kita otoriter, bahwa kita menindas, bahwa kita merampas hak-hak orang lain, bahwa kita melanggar hukum, bahwa kita korup, garong, maling, perampok, manipulator, tidak konsisten dan tidak otentik,  dan bahwa kita lebih banyak berkata-kata tapi tidak berkarya.

            Sebenarnya Tuhan selalu berkata-kata kepada kita setiap saat, melalui berbagai peristiwa, termasuk gempa bumi, tsunami, banjir bandang dan  letusan merapi yang terjadi kali ini, tapi sayang kita sering tak punya telinga untuk mendengarkannya. Maka bagi kita yang hari ini punya telinga patut memperbaikinya mulai dari diri sendiri. Mulai sekarang stop pembalakan liar, stop membuang sampah di sungai, stop berlaku korup, merampas hak-hak rayat, dan  segala perbuatan yang merugikan diri sendiri apalagi orang lain.

Namun usaha untuk membidani kelahiran kembali alam Indonesia yang indah ini  tentu bukan perkara mudah, maka dibutuhkn kesadaran bagi setiap individu untuk ikut berpartisipasi menjaganya. Apa yang belum tercapai di masa lalu kita perbaiki hari ini, dan kekurangan hari ini kita berusaha memperbaikinya esok.

Maka marilah kita merenung dan menilai kembali apa yang salah dan apa yang patut disukuri dalam diri kita. Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengingkari kemurkaan alam. Maka saatnya kita peduli dengan lingkungan. Mari mulai bersahabat dengan alam, karena bumi ini masih menyisakan banyak keindahan untuk dirawat terus, agar semua pihak bisa ikut menikmatinya. Termasuk menjaga indahnya berlaku jujur, amanah, indahnya kerukunan, indahnya persahabatan, indahnya gotong royong, indahnya menjaga keluhuran budi, indahnya kiriman sedekah berupa senyum, sedekah paling murah namun halal dan berpahala.

Istighosah tentu bagus, sebab mestinya sudah didahului istikharah(mohon petunjuk), dan lebih mulia disambung dengan istiqomah (konsisten) untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan terus berusaha berbuat kebaikan dan bersahabat dengan alam. Bila masih ada yang kurang, maka disulam dngan istighfar (mohon ampunan).
           
            Kita, mungkin terutama para pemimpin bangsa, telah lama terlalu sering berbohong dan tidak amanah. Melahirkan kebohongan dan percaya apa yang bohong sebagai kebenaran. Kita terlalu lama terbelenggu oleh nafsu dan segenap ambisi  pribadi,  maka nampaknya kita lebih perlu meruwat diri kita sendiri agar bumi yang kita singgahi, yang airnya kita minum bersama ini semakin nyaman dan enak dihuni.

            .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar