Oleh: Nawang Wulandari
erbit di Radar Lampung: http://radarlampung.co.id/read/opini/19944-calon-bupati-dan-bayi
PILKADA Lampung Tengah yang akan dilaksanakan 12 Agustus 2010 rupanya
menjadi perbincangan di kalangan ibi-ibu jamaah pengajian. Pasalnya,
para calon bupati saling berlomba memberi sedekah sebanyak-banyaknya
pada jamaah pengajian ibu-ibu di Lamteng. Tak lupa anak-anak yatim,
piatu, yatim piatu, dan anak-anak yang orang tuanya masih hidup namun
dianggap kurang mampu pun mendapatkan santunan.
Harapan dari
sedekah ini agar doa mereka untuk memimpin kabupaten diijabah Tuhan dan
diamini jamaah yang merasakan imbas dari sedekahnya itu. Cara mereka
menyalurkan sedekah pun beragam. Salah satunya melalui pengajian yang
ada di desa-desa. Mereka biasanya ikut mengaji bersama jamaah pengajian.
Acara ikut mengaji bersama ini tentu bukan untuk seterusnya, hanya
malam itu. Yang ikut mengaji bersama pun bukan calon bupati langsung.
Tapi, orang yang dipercaya calon bupati untuk menyampaikan niatnya.
Biasanya
di akhir acara pengajian, orang kepercayaan calon bupati meminta waktu
sedikit untuk bisa mengobrol dengan jamaah yang hadir. Mereka yang
menjadi penyambung lidah calon bupati ini cerdas bicaranya, tutur
katanya diatur sedemikian rupa, serta ucapannya santun dan manis.
Sebagian besar jamaah yang hadir hanya menanggapinya dengan senyum dan
mengangguk-anggukkan kepala. Tapi bagi pendengar yang tidak kuat
akalnya, akan mengkhayal tinggi menyundul langit.
Tak
ketinggalan sebelum pulang mereka memberikan kenang-kenangan agar
obrolannya tadi tetap bisa dikenang, bahkan dilaksanakan jamaah yang
hadir. Hal semacam ini bukan kali pertama terjadi. Pada
pemilihan-pemilihan wakil rakyat sebelumnya, modus seperti ini kerap
digunakan. Jika kita mau memperhatikan lagi, di pinggir jalan, warung
kopi, warung pecel, pasar, sawah, tempat parkir umum, dan tempat-tempat
umum lainnya, kita bisa menemukan lagi hasil sedekah dari calon wakil
rakyat berupa kaus-kaus yang mungkin sedang dipakai penjual pecel,
sayur, dan sapu lidi keliling serta penjaga WC umum, tukang becak,
tukang ojek, tukang ikan, yang bergambar wajah para calon wakil rakyat
di bagian punggung dan dada disertai pula nomor urut calon dan warna
partai yang diusung.
Bagi masyarakat, barang yang diberi akan
dimanfaatkan. Tapi bukan berarti mereka yang memberi sudah pasti
terpilih. Sebab, mereka yang diberi pun tidak pernah meminta. Perkara
siapa memilih siapa itu hak individu yang tidak usah dipaksakan.
Apa
jaminan yang bisa diberikan calon wakil rakyat untuk tidak korup, adil,
demokratis, dan bersikap lebih manusiawi? Pastikah mereka yang
memberikan kenang-kenanganakan meninggalkan atau pemelopori model
kepemimpinan alternatif, yang lebih menekankan prinsip to lead yang
lebih egaliter, seperti pasangan teman sederajat, dan bukan to manage
yang serba mengatur, serba perintah, serba intruksi, seperti komandan
terhadap anak buah?
Pertanyaan seperti ini muncul bukan tanpa
alasan, pertanyaan ini muncul di tengah-tengah suasana gundah-gulana
karena tata kehidupan masih meniupkan angin kecemasan, rasa was-was dan
jemu melihat tingah pejabat yang kompak dan saling melindungi dalam
melakukan kejahatan yang merugikan negara. Segala corak kepalsuan
dijunjung tinggi. Kejujuran dengan sendirinya ditolak. Wakil rakyat yang
jujur dijauhi karena dianggap kelilip berbahaya yang tidak bisa
diajak bersekongkol melakukan kejahatan kolektif.
Aparat keamanan
tidak lumpuh, tapi kelihatan tak berdaya, dan hukum hanya hidup di dalam
kitab-kitab di bagian paling idealis dalam jiwa masyarakat yang masih
agak waras. Perpolitikan resmi di lembaga-lembaga resmi, dan diantara
tokoh-tokoh resmi yang memegang kendali kekuasaan, dan kontrol atas
kekuasaan terdengar hanya sayup-sayup, karena sangat sukar membedakan
wajah politik dan wajah kriminalitas. Jalan politik dan jalan kriminil
berhimpitan rapat, seolah sudah menjadi satu.
Ini tragedi bangsa
kita, nasib rakyat ibarat anak kecil yang celingak-celinguk atau
mengintip jurang yang dalam, sedang orangtuanya tidak waspada. Dan sudah
tentu ini sangat berbahaya.
Siapa pun pasangan calon bupati dan
wakil bupati yang terpilih, saya ucapkan selamat, bagi yang tidak
terpilih jangan berkecil hati. Minimal jangan saling caci dan ribut
sana-sini, karana ributnya wakil rakyat itu pakai ongkos dan ongkos yang
digunakan adalah uang rakyat. Rakyat sudah tidak sanggup lagi
menanggung biaya hidup yang semakin membumbung tinggi, apalagi harus
ditambah membiayai pertikaian kalian yang membuat panas iklim yang pada
dasarnya sudah panas dan pengap.
Kita perlu mengingat kembali
ucapan para arif bijaksana, bahwa seribu teman masih sangat kurang,
namun satu musuh sudah sangat lebih. Sesama umat beragama jangan saling
sengketa, sesama politisi jangan saling membenci, apa kalian tidak
mengenal dongeng nabi-nabi dan Tuhan yang maha mengasihi, yang
mengajarkan kita perlunya menebar salam penghapus dengki? Nampaknya itu
menjadi kata mutiara agar manusia di sini, di tanah air yang kita
tinggali, terasa nyaman dan enak dihuni.
T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar