Powered By Blogger

Minggu, 20 November 2011

JIWA YANG MERDEKA


            “Saat anda membaca tulisan ini, di suatu tempat di indonesia, ada seorang anak bayi yang bergumul dengan maut karena tetanus, seorang anak lain yang mendekam di penjara tanpa kejelasan masa depan, dan puluhan murid belajar dalam kondisi fisik, sosial, dan politik yang tak memberi mereka manfaat pendidikan yang berarti.
            Apa yang saya tulis ini hanya sebagian kecil kenyataan menyedihkan yang harus dihadapi setiap hari oleh anak-anak kita yang kurang beruntung.” Inilah penggalan surat dari Steven Allen, kepada perwakilan UNICEF Indonesia yang saya baca di salah satu media elektronik.

            Di sebuah negeri yang konstitusinya menjamin anak-anak terlantar akan dijamin negara namun masih banyak anak-anak seperti itu  srbenarnya bukan perkara nasib, bukan pula salah ibu mengandung, ini perkara kepekaan  sesama manusia, bila sampai saat ini mereka masih tak terurus, dan negara masih bisa merasa tak bersalah melupaka mereka, ini adalah bukti ketidak pedulian manusia kepada sesama manusia.
           
            Sebagian dari mereka  terpaksa mencopet, mengutil di swalayan, dan meminta-minta karna  himpitan ekonomi yang sudah lama mereka panggul. Apa yang mereka lakukan bukan semata karena moril mereka bobrok, melainkan lambang bobroknya tatanan ekonomi negara kita.

            Mereka juga manusia seperti kita, warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.  Mereka sudah cukup menderita, ditambah lagi harus menanggung “stigma” sebagai sampah masyarakat Mereka berhak pintar,  mempunyai tempat tinggal yang layak, menjadi polisi, politisi,  guru, camat,  lurah dan pekerjaan lain yang dianggap mampu mengentaskan status sosial mereka.


            Maka betapa wibawanya orang yang sudi mengunjungi mereka dan bertanya tentang perih kehidupan yang mereka rasakan. Apalagi jika seorang pemimpin yang rela merogoh pundi-pundinya sendiri di saat mereka terhimpit kesulitan. Kunjungan itu membuat mereka merasa hidup ini masih ada yang memimpin, di bawah hujan kesulitan sehari-hari setidaknya tetap terasa masih ada payung yang melindungi nasib mereka.


            Publik kita yang patut di sebut elemen “civil society” masih mudah terbius kata-kata bandit berdasi, keterbiusan itu membuat kita lalai bahwa hingga kini keadilan belum pernah mampir ke halaman rumah singgah yang dihuni anak  anak terlantar atau ke rumah-rumah buruh, nelayan, kuli, tukang becak, petani, pegawai bawahan, dan pegawai menengah tapi jujur serta semua jenis rakyat jelata dan kaum proletar di kota-kota besar kita.

            Inilah pedihnya hidup dalam suatu masyarakat  yang warganya buta huruf maupun terpelajar namun tak punya jiwa merdeka. Kita terus-menerus berada dalam penjara nafsu dan ambisi yang mejajah jiwa.

            Telinga batin kita tumpul, kecerdasan spiritual kita terganggu, dan implikasinya kita terlalu bebal, rakus dan egoistis. Kita tak bisa lagi mengembangkan rasa  empati kepada sesama.

            Sikap ini lahir setelah reformasi berkembang di masyarakat . Ini gejala penting yang menjelaskan bahwa pada sebagian dari kita, sebagai bangsa, masih mengidap secara akut gejala psiko-patologi yang tampil dalam bentuk mentalitas orang terjajah.
Kita tak lagi hidup di atas ukuran keindahan. Kita membuang nilai-nilai dasar: jujur, terpercaya, amanah, adil, manusiawi, punya rasa malu, dan memakai ukuran kepantasan.

Kita lupa kemerdekaan merupakan momentum mendidik manusia merdeka dengan cara menanamkan kembali dasar-dasar dan ukuran tadi dalam kehidupan sehari-hari di rumah, masyarakat, organisasi sosial, partai-partai politik dan di manapun kita berpijak.

Kita lupa bahwa setiap jiwa wajib membebaskan jiwa lainnya dari ketertindasan, dan mengantarkan mereka menjadi manusia-manusia merdeka dengan jiwa yang merdeka. Kita lupa mendidik kaum muda untuk lebih memahami keindonesiaan secara utuh.

 Tapi kali ini kita tidak boleh lupa, bahwa kemerdekaan belum banyak melahirkan manusia merdeka yang memiliki watak “asketik”, menjaga jarak dari materi, zuhud, membatasi keserakahan dan menjunjung tinggi kemanusiaan di dalam kehidupan sehari-hari di rumah maupun di semua corak birokrasi.  Inilah sesungguhnya manusia yang jiwa dan raganya merdeka. Ia tak terjajah oleh dunia, juga tidak oleh nafsu-nafsu dan ambisinya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar