“Saat
anda membaca tulisan ini, di suatu tempat di indonesia, ada seorang anak bayi
yang bergumul dengan maut karena tetanus, seorang anak lain yang mendekam di
penjara tanpa kejelasan masa depan, dan puluhan murid belajar dalam kondisi
fisik, sosial, dan politik yang tak memberi mereka manfaat pendidikan yang
berarti.
Apa
yang saya tulis ini hanya sebagian kecil kenyataan menyedihkan yang harus
dihadapi setiap hari oleh anak-anak kita yang kurang beruntung.” Inilah
penggalan surat dari Steven Allen, kepada perwakilan UNICEF Indonesia yang saya
baca di salah satu media elektronik.
Di
sebuah negeri yang konstitusinya menjamin anak-anak terlantar akan dijamin
negara namun masih banyak anak-anak seperti itu srbenarnya bukan perkara nasib, bukan pula
salah ibu mengandung, ini perkara kepekaan
sesama manusia, bila sampai saat ini mereka masih tak terurus, dan
negara masih bisa merasa tak bersalah melupaka mereka, ini adalah bukti ketidak
pedulian manusia kepada sesama manusia.
Sebagian
dari mereka terpaksa mencopet, mengutil
di swalayan, dan meminta-minta karna
himpitan ekonomi yang sudah lama mereka panggul. Apa yang mereka lakukan
bukan semata karena moril mereka bobrok, melainkan lambang bobroknya tatanan
ekonomi negara kita.
Mereka
juga manusia seperti kita, warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Mereka sudah cukup menderita,
ditambah lagi harus menanggung “stigma” sebagai sampah masyarakat Mereka berhak
pintar, mempunyai tempat tinggal yang
layak, menjadi polisi, politisi, guru,
camat, lurah dan pekerjaan lain yang
dianggap mampu mengentaskan status sosial mereka.
Maka
betapa wibawanya orang yang sudi mengunjungi mereka dan bertanya tentang perih
kehidupan yang mereka rasakan. Apalagi jika seorang pemimpin yang rela merogoh
pundi-pundinya sendiri di saat mereka terhimpit kesulitan. Kunjungan itu
membuat mereka merasa hidup ini masih ada yang memimpin, di bawah hujan
kesulitan sehari-hari setidaknya tetap terasa masih ada payung yang melindungi
nasib mereka.
Publik
kita yang patut di sebut elemen “civil society” masih mudah terbius
kata-kata bandit berdasi, keterbiusan itu membuat kita lalai bahwa hingga kini
keadilan belum pernah mampir ke halaman rumah singgah yang dihuni anak anak terlantar atau ke rumah-rumah buruh, nelayan,
kuli, tukang becak, petani, pegawai bawahan, dan pegawai menengah tapi jujur
serta semua jenis rakyat jelata dan kaum proletar di kota-kota besar kita.
Inilah
pedihnya hidup dalam suatu masyarakat
yang warganya buta huruf maupun terpelajar namun tak punya jiwa merdeka.
Kita terus-menerus berada dalam penjara nafsu dan ambisi yang mejajah jiwa.
Telinga
batin kita tumpul, kecerdasan spiritual kita terganggu, dan implikasinya kita
terlalu bebal, rakus dan egoistis. Kita tak bisa lagi mengembangkan rasa empati kepada sesama.
Sikap
ini lahir setelah reformasi berkembang di masyarakat . Ini gejala penting yang
menjelaskan bahwa pada sebagian dari kita, sebagai bangsa, masih mengidap
secara akut gejala psiko-patologi yang tampil dalam bentuk mentalitas orang
terjajah.
Kita tak lagi hidup di atas ukuran keindahan. Kita
membuang nilai-nilai dasar: jujur, terpercaya, amanah, adil, manusiawi, punya
rasa malu, dan memakai ukuran kepantasan.
Kita lupa kemerdekaan
merupakan momentum mendidik manusia merdeka dengan cara menanamkan kembali
dasar-dasar dan ukuran tadi dalam kehidupan sehari-hari di rumah, masyarakat,
organisasi sosial, partai-partai politik dan di manapun kita berpijak.
Kita lupa bahwa setiap jiwa
wajib membebaskan jiwa lainnya dari ketertindasan, dan mengantarkan mereka
menjadi manusia-manusia merdeka dengan jiwa yang merdeka. Kita lupa mendidik
kaum muda untuk lebih memahami keindonesiaan secara utuh.
Tapi kali ini kita tidak boleh lupa, bahwa
kemerdekaan belum banyak melahirkan manusia merdeka yang memiliki watak
“asketik”, menjaga jarak dari materi, zuhud, membatasi keserakahan dan
menjunjung tinggi kemanusiaan di dalam kehidupan sehari-hari di rumah maupun di
semua corak birokrasi. Inilah
sesungguhnya manusia yang jiwa dan raganya merdeka. Ia tak terjajah oleh dunia,
juga tidak oleh nafsu-nafsu dan ambisinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar