Waktu itu kami (aku, Nila, Asyani dan Sefrida) mengaji di rumah Ustadzah Siti Amanah. Saat itu tugas kami adalah setoran hafalan surat Yasin. Setelah satu persatu kami semi semua selesai hafalan, kami ngobrol-ngobrol ringan dengan ustadzah Siti Amanah dan suaminya, Ustadz Dalimi. Disela-sela obrolan ringan kami waktu itu, ustadz Dalimi bertanya,
“Antun (Kalian) kelas berapa?” Beliau bertanya kepada kami. Ustadz dalimi saat itu memang bekerja di luar pondok, di salah satu kantor KUA di daerah di Lampung Tengah, sehingga kurang seberapa kenal dengan para santriwati.
“Kelas lima, Tadz” jawab kami hampir bersamaan.
“berarti sudah pada menjabat di OPPD ya?” beliau bertanya lagi. OPPD ini adalah singkatan dari Orgnisasi Pelajar Pondok pesantren Darussalam. Semacam OSIS gitu.
“Iya, tadz” suara kami kali ini lebih serempak, mirip kour lagu 17 agustus pas upacara peringatan hari kemerdekaan Indonseia.
“Ketua OPPD-nya siapa?” Ustadz Dalimi bertanya lagi.
“Nawang, tadz” Jawab Nila, Asyani dan Sefrida sambil menoyor-noyorkan kepalaku (noyor-noyorin kepalanya bohong. :D)
“Oh anti?” balas ustadz dalimi sembari memutarkan biji matanya ke arahku.
“Iya Tadz” Kali ini aku menjawab sendiri. Nila, Asyani dan Sefrida tidak ikut urun suara. Mungkin lagi ngemut roti yang disajikan oleh Ustadzah Siti Amanah. heheh
Setelah itu beliau memaparkan panjang lebar perihal setiap jawaban kami yang menyertakan kata “Tadz” di belakangnya. Maksud kami sih, tadz itu kependekan dari ustadz. Misalnya namaku Nawang dipanggilnya wang aja, misalnya Nila jadi Nil, sefrida jadi Sef, Asyani jadi Ni, Tuti jadi Tut, Lita jadi Lit, Mahmudah jadi Mudah, Masayu jadi Mas, Giring jadi Ring, Juni jadi Jun, Fadli jadi Fad, Zulpoko jadi Piko, laser jadi Ser, Risca jadi Ris, Sulis jadi Lis, Marta jadi Tha, Rindi jadi Rin, dsb (dan saya bingung) :D :D. Ya pokoknya intinya, Tadz itu kependekan dari ustadz. Gitu!!.
Beberapa saat kemudian, angin bertiup malas, gumpalan awan menjelma gerimis, tersebar aroma khas tanah basah, air hujan mengguyur dedaunan, kelalawar berteduh di sarang, semut-semut ngerumpi sambil salam-salaman, Ustadz Dalimi melanjutkan paparannya, “Kenapa santri-santri di sini suka sekali hanya menyertakan kata “Tadz” saat berbicara pada Ustadznya, padahal kalau kata “Tadz” tadi disertakan setelah kata-kata tertentu jadi berabe urusannya”
Kami berempat cuma senyum-senyum bingung sambil ngemut roti mendengarkan penjelasan beliau. Tak lama berselang Ustadz Dalimi melanjutkan perkataannya,
“Ya coba bayangin kalau Ustadz Tanya, ‘Kapan kalian liburnya Nak?’ kalian jawab, ‘Minggu dePANTADZ’. ‘Orang yang akhlaknya baik itu harus gimana?’ Harus SoPANTADZ. ‘Itu kenapa pohonnya bisa rubuh?’ ‘Ketiup angin toPANTADZ’. Partai kamu apa? PANTADZ!! Coba kalau kalian jawab dengan lengkap pasti jawabannya akan menjadi “ Minggu depan Ustadz, Sopan Ustadz, Ketiup angin Topan Ustadz, PAN Ustadz.“
Mendengar ucapan ustadz Dalimi kami semua spontan ketawa. Hahahahhahahahah... :D
Allah yubarik fikum Yaa Ustadz Dalimi. Wa li jami’il asatidz wa asaatidzah fil Ma’hadidaarissalam.
Pesan: Hati-hati dengan penggunaan kata “Tadz” saat disertai kata-kata tertentu.
Panggilah seseorang dengan panggilan yang disenanginya. Ting. :D
Bye bye. Sampai ketemu lagi di kisah selanjutnya. Keep Istiqomah dan selalu jaga hati. Ingat, setan itu sangat kreatif dalam menggoda hamba-hambaNya. Maka Shalatlah!! Shalatlah!!! :D