Kota ini tak lagi memeluki senyum. Riang telah dicerai musim.
Hanya lampu-lampu yang tetap cahaya, bukan kita.
Sebab pipiku telah kaucuri ronanya, kau genggami bersama riuhmu, ikut melaju ke kota tua, kota tak bernama.
Jari-jari telah sering terulur bersama aliran doa yang menembus kemurungan.
Hingga sungai-sungai hidup di pipiku, merayap ke mimpimu.
Hingga gemuruh debar di jantungku mendenyut di nadimu.
Hingga sesak nafasku terbang ke paru-parumu.
Juga lirih namamu yang kueja diam diam, sampai ke pendengaranmu.
Hatimulah tempat ternyaman untukku membagi jarak. Manalah mungkin aku berhenti mengetuki kedua belah kelopak matamu, sedang mimpiku terlanjur bermukim di keduanya. Menelurkan rindu yang berdenyut pilu, lalu kubiarkan mati dengan caranya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar