Syahdan, seorang wanita
berbibir tipis, o bukan, seorang gadis berbaju tipis, o bukan, seorang gadis
yang tak lagi gadis berlari ke tepian malam dengan sekarung cemas juga air mata
yang telah lama ia peram.
Dibawanya serta riwayat
pesakitan, lambung kosong serta kecut kehidupan yang telah lama menganiaya
usia.
Lalu, dititipkanya
kebahagiaan yang serupa benalu pada desah yang meresah, cucuran keringat juga
goncangan cairan tengah tubuh anak manusia; surga baginya.
Bodoh!! Apa ia tak mengenal dongeng
nabi-nabi juga indahnya surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai susu? Atau perihal kalajengking dan cacing-cacing yang
menjadi teman jasad yang terpendam?
Oo bukan,
bukan hendak melumat
bulat-bulat perihal siksa kubur juga api neraka, namun kisah paling darah ini
hanya ia yang mampu menjamahinya. Bukan kamu, bukan kita, ataupun wanita-wanita
kampung yang dari bibirnya selalu berloncatan segala cicir, segala serapah.
--Kini ia terus melangkah
dengan biduk pelepah dan air mata, dengan kenangan yang terus beranak pinak,
dengan ramai dosa yang menyesakki batok kepala.
Ia mulai mengemas juga
mangemis cinta Pencipta, karena sejauh apapun jiwanya bertualang, dalam gelap dan dingin lubang
kosonglah kelak ia akan berpulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar