Mates, sebenarnya aku ingin sekali memosting catatan kecil ini
beberapa minggu yang lalu, namun masih dijangkiti penyakit malas yang
semakin akut, jadilah akhirnya coretan perjalannan yang sudah hampir
sebulan lalu ini baru bisa kurampungkan hari ini.
Selesai subuh aku ‘tewas’ lagi di kasur empuk dan gulungan selimut
tebal milik Mbak Maria, kakak tingkatku saat di STAIN dulu yang kini
tinggal bersamaku. Cuaca di malang memang berpotensi sebagai donatur
setia untuk mengintimi selimut kemudian bermalas-malas ria di tempat
tidur. Adem euyy, padahal aku tinggal di daerah Singosari, bukan
kawasan Batu yang dinginnya “mengigit’ tulang. Waktu melintasi Batu
ketika dari Kediri akhir Juli lalu, aku sempat melongok ke alat
pengukur cuaca yang ada di mobil, ternyata udara Kota Batu pagi itu
adalah 14 derajat Celcius, Hmmmm bisa dibayangkan betapa dinginnya bagi
kami yang terbiasa dengan udara Lampung. Pantas saja Si Sayid, selalu
meng-up date status di facebook tentang flunya saat awal-awal di malang
dulu. :D :D
Jam 8 an pintu kamarku diketok
Mbak Maria, duh jadi malu aku molor sampai hari terang. Padahal pagi itu
kami berencana pergi ke Lumajang untuk menyusuri Semeru. Aku buru-buru
mandi dan siap-siap berangkat. Karena tak sempat memasak akhirnya kami
putuskan untuk sarapan di luar. Mbak Maria memilih soto sebagai
sarapannya, sedangkan aku lebih memilih rawon. Lumayan untuk amunisi
sampai di Lumajang nanti. :D :D
Sebenrnya kami berencana mencari angkot ke Terminal Arjosari, karena
menurut seorang teman yang berada di Lumajang, kami nanti harus tiga
kali naik turun angkot, karena rute kami nanti adalah Arjosari =>
Gadang => Lumajang. Namun hasil dari obrolan dengan bapak penjual
Soto dan Rawon tadi ternyata ada bis yang langsung ke Lumajang. Jadi
kami putuskan untuk naik bis yang langsung ke Lumajang saja. Akhirnya
bis yang kami tunggu datang. Setelah kira-kira setengah jam di atas bus,
aku sedikit curiga saat melihat rute di karcis bis, karena banyak
sekali nama-nama daerah yang harus kami lewati untuk bisa sampai ke
Lumajang, padahal kata seorang teman yang sudah menunggu kami di
Lumajang, Jarak Malang-Lumajang hanya sekitar dua jam. Akhirnya
kecurigaanku terjawab setelah aku bertanya dengan salah seorang
penumpang di bis itu. Hmmm pantas saja, jadi ternyata bis ini memang
menuju Lumajang, namun lewat selatan yang memang harus muter-muter dulu
melewati Pasuruan, Purbolinggo dan lain-lain, sedangkan kalau kami naik
angkot dari Arjosari => Gadang => Lumajang itu adalah lewat
selatan yang waktunya jauh lebih singkat. Jadilah kami yang harusnya
sudah bisa sampai sebelum dzuhur, harus rela sampai di Lumajang sekitar
sebelum Ashar.
Sampai di sana kami ditampung
di rumah Bapak Syahroni, salah satu kerabat mbak Maria di Lumajang. Ibu
Syahroni dan anak-anaknya telah menyiapkan kami opor ayam, sambal ati
dan kentang juga mi goreng yang kesemuanya Lezaaaaaattt. Hmmmmmm
Yummmmmmyyyyy.. Terimakasih bapak Syahroni dan keluarga yang telah baik
sekali terhadap kami. Hihiiihiiihihii J
***
Pagi
yang mengigil di awal ramadhan, Brrrrrrrrr.... dingin ruaaaaaaaaaarrr
biasa. Secara posisiku ini berada di lereng kaki gunung Semeru, gunung
tertinggi di pulau Jawa. Rencananya pagi ini kami akan menyusuri semeru,
namun awan Lumajang hari ini ditutupi mendung. Jadilah kami harus
bersabar menunggu cuaca semakin membaik. Sebenarnya jika tidak mendung,
dari belakang rumah Bapak Syahronipun Semeru sudah nampak dengan jelas
sekali.
Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga
kami menunggu cuaca membaik. Namun sayang Sang surya tak mampu mengusir
mendung. Akhirnya kami putuskan tetap berangkat walaupun cuaca masih
mendung, dan itu berarti besar kemugkinan kami tak bisa melihat Semeru
karena ditutupi kabut. Kami keukeuh untuk menyusuri semeru hari ini
karena besok kami sudah harus pergi lagi ke tujuan kami masing-masing,
Mbak Maria akan ke Banyuwangi sedangkan aku sendiri ke Nganjuk.
Perjalanan dimulai dengan menyusuri sawah di belakang rumah Bapak
Syahroni, kami berangkat bertiga (aku, Mbak Maria dan Kak Syahlan).
Sawah hijau membentang dengan undak-undakan yang indah mengiringi
perjalanan kami hari itu. Satu yang sedikit berbeda dengan sawah di
daerahku di Lampung sana, bahwa sawah di sini banyak terdapat batu-batu
besar. Konon katanya, itu akibat letusan Semeru berpuluh-puluh tahun
lalu. Sawah telah selesai kami lewati hingga kini kami berada seperti
semacam tanggul, menurut Kak Syahlan akan ada lima tanggul yang harus
kami lewati untuk sampai ke Laharan (tempat lahar mengalir). Tanggul ini
sendiri dibuat sebagai bentuk antisipasi pemerintah jika suatu saat
Semeru meletus. Kami menyusuri tanggul dan mencari tangga untuk turun.
Sepanjang tanggul, banyak terdapat kulit-kulit ular yang sudah mati dan
memutih. Hmmm aku merinding jadinya.
Setelah
turun dari tanggul, kami langsung disambut oleh aliran kecil air jernih
yang mengalir langsung dari Semeru. Hhhiiiiiiiiiiiyyyyyyyy
beniiiiiiiiiiiiing dan jerniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih banget airnya. J J
kemudian kami harus bersiap memasuki kawasan hutan pinus. Ribuan pinus
tertata rapi di sini. Kata Kak Syahlan, dulu warga boleh mencari kayu di
hutan ini, namun sekarang sudah tidak diperbolehkan lagi.
Sejujurnya
aku takut sekali saat harus berada di antara pinus-pinus tua itu,
pikiranku selalu was-was setiapkali menyusuri hutan pinus, aku takut
akan ada hewan-hewan buas yang menerkam kami yang cantik-cantik ini.
(hihihiiihihi Narsis euy, Naudzubika ‘ala hadzihi narsisah ya Allah)
hehehe. Setelah hutan pinus pertama selesai kami lewati, kami harus
menyusuri jalan setapak dan turun ke semacam jurang namun tidak terlalu
dalam. Perjalanan terus berlanjut sampai kami menemukan tanggul kedua.
Jadi kami harus menyusuri jalan setapak, hutan pinus hingga menemui
tanggul, jalan setapak, hutan pinus hingga menemui tanggul, jalan
setapak, hutan pinus hingga menemui tanggul begitu seterusnya sampai
kami tiba di tanggul ke lima.
Perjalanan ini memang
melelahkan, namun semua menjadi tak masalah karena kami disuguhi
pemandangan yang memanjakan mata. Akhirnya setelah sekitar delapan kilo
berjalan dari rumah Pak Syahroni, kami sampai juga di tanggul terahir.
Di bawah tanggul ke lima yang kami pijak ini terdapat semacam jurang
tempat lahar panas semeru dulu mengalir, namun lahar itu kini sudah
kering. Saat kami di sana banyak fuso-fuso yang mengangkuti batu dan
pasir dari bekas lahar itu. Dari tanggul ke lima ini seharusnya
cantiknya Semeru bisa kami nikmati dengan jelas, namun sayang sungguh
sayang, cuaca tetap saja mendung, jadi dengan jarak sedekat inipun
keindahan Semeru tidak bisa kami lihat dengan mata kepala sendiri.
Akhirnya kami putuskan untuk menyudahi penyusuran sampai di tanggul ke
lima ini karena cuaca semakin tidak memungkinkan. Meskipun hari ini
Semeru masih ditutupi kabut, namun aku tetap bersyukur bisa diberi
kesempatan menyaksikan salah satu keindahan Tuhan yang bisa aku nikmati
hari ini. Suatu saat nanti, jika Allah mengizinkan, aku ingin kembali
ke sini lagi. Aamiin.
Mates, alam ini masih menyimpan berjuta keindahan untuk selalu terus dirawat dan dijaga. So Let’s save our earth.