Salah satu rahasia Maha Agung Sang Pencipta selain
hidup dan mati adalah jodoh. Siapa sih manusia di dunia ini yang bisa tahu
dengan siapa kelak dia akan berjodoh? Saya
rasa tetap tidak akan ada seorangpun yang bisa mengankangi misteri milik Tuhan
yang satu itu. Termasuk juga para peramal, apapun jenis ramalannya. Entah itu
peramal Aeromancy, Botamancy, Bumpology, Catoptromancy,
Ceraunoscopy, Genethlialogy, Haruspication, Hydromancy, I Ching, Lecanomancy ,
Margaritomancy, Metoposcopy, Oculomancy, Sortilege, sampai
jenis ramalan Demonomancy sekalipun.
Karena apapun alasannya aku tetap percaya bahwa sebelum kulit ari ini tercipta,
Tuhan telah menetapkan rahasia-rahasia Agung bagi hidup setiap manusia, termasuk di dalamnya tentang jodoh yang harus aku yakini sebagai aplikasi sebuah keimanan
seorang hamba terhadap rukun iman yang ke-enam.
Sejak dulu
hingga umurku yang sekarang ini, yang mungkin menurut orang di kampungku sudah
tidak muda lagi, karena teman-teman SD sebayaku rata-rata sudah menikah bahkan
ada yang sudah memiliki anak, belum
pernah sekalipun aku menjalani masa-masa yang teman-temanku bilang bernama
pacaran. Dulu saat SMP, ketika teman teman perempuanku mulai surat-suratan
kepada lawan jenis, yang membuat mereka kadang senyum-senyum sendiri bahkan
jadi tak konsen belajar, aku hanya mampu jadi pengamat. Lalu setelah lulus SMP,
orangtuaku memasukkanku ke
pesantren yang sudah pasti interaksi dengan lawan jenis akan sangat dibatasi.
Jangankan kamar tidur dan kamar mandi, bahkan dapur umum, kantin, kelas, hingga jadwal keluar pesantren antara
santriwan dan santriwatipun akan dibedakan.
Antara
asrama santriwan dan santriwati juga dibatasi dengan pagar tinggi, tebal dan
sangat kokoh. Belum lagi akan ada mata-mata yang biasa kami sebut dengan istilah
jasus yang akan mengawasi tingkah
laku semua santri. Mulai dari shalat berjamaah di masjid, mengaji, penggunaan bahasa wajib yang memang hanya
diperbolehkan menggunakan bahasa Arab dan Inggris, kebersihan lingkungan juga
badan, termasuk berapa kali mandi dalam sehari, apalagi tentang interaksi
antara lawan jenis, pasti akan mendapat pengawasan yang ekstra ketat. Bisa
dibayangkan betapa terkekangnya hidupku bukan? What, terkekang??? No! It’s
wrong. I'm very happy you know. Aku sangat
bahagia dengan hidupku ini. Sungguh! Aku sangat bahagia dengan kehidupan
pesantren beserta segala bentuk aturan-aturannya.
Jika ada yang bertanya apakah aku pernah
jatuh cinta? Tentunya pernah. Diam-diam aku pernah menyukai teman sekampusku
waktu di semester enam dulu. Orangnya cerdas, manis, sopan, bersahaja, dan
tidak neko-neko. Namanya Galih. Secara diam-diam pula aku memperhatikan
aktivitas-aktivitasnya dan juga tempat-tempat yang biasa dia singgahi. Dari
situ aku tahu bahwa dia sangat hobi membaca. Dari perhatianku yang secara
diam-diam itu pula aku merasa sudah sangat mengenalnya, dan lama-lama muncul efek seperti ada rasa
gelisah jika sehari tak melihatnya, jika hal itu terjadi maka segera saja aku menaiki
lift menuju lantai tiga perpustakaan, lalu kubebaskan retinaku menelusuri kursi
baca paling pojok, di baris kedua sebelah kanan pintu masuk yang berdekatan
langsung dengan AC. Maka akan kutemukan dia yang sedang asyik melahap
buku-buku bacaannya.
Karena
dialah aku jadi ikut-ikutan betah berlama-lama di perpustakaan kampus. Sering
dengan sengaja kucari tempat duduk yang paling strategis saat membaca di
pepustakaan agar dapat memandangnya sewaktu-waktu tanpa dia mengetahui. Hingga
suatu hari akhirnya dia menyapaku, akhirnya kami berkenalan lalu saling
bertukar nomor handphone. Jangan ditanya bagaimana perasaanku
saat itu. Jika diibaratkan, mungkin rasanya seperti orang yang terbebas dari
penyakit TBC menahun. Hehe..
Peristiwa
bertukar nomor handphone dulu itulah yang merupakan momentum paling
keramat dalam sejarah merah jambuku. Karena sejak saat itu,
kami jadi sering berinteraksi dan diskusi tentang banyak hal. Termasuk juga pada
akhirnya tentang urusan hati. Kami jadi bisa menyelami hati masing-masing. Juga
mendadak menjadi saling ketergantungan dan butuh perhatian. Mulailah kami
menjadi sering jalan berdua, mengunjungi tempat tempat bacaan berdua, memburu
buku-buku murah berdua, sampai berniat
ingin menyatukan mimpi-mimpi yang kami miliki dalam satu ikatan pernikahan. Eiiits.. tunggu dulu, sampai sejauh ini tidak pernah sekalipun kami bersentuhan fisik, walaupun sekedar bersalaman. Hingga akhirnya waktu membawa kami pada detik-detik
terakhir status kami tamat sebagai mahasiswa di kampus ini.
Setelah
lulus strata satu, kami berniat melanjutkan studi ke program magister. Bedanya
dia memilih melanjutkan S2 nya di Jakarta,
sedangkan aku memilih melanjutkan S2 ku di kota
apel, Malang.
Di bulan-bulan pertama tinggal saling berjauhan merupakan saat-saat yang sangat
sulit dilalui. Rasa rindu yang menggebu seolah telah mematikan rasa lapar yang
menghuni lambung lambung kami, sebab kami rela menghabiskan rupiah demi rupiah
uang jajan kami hanya untuk bisa melepas rindu di telpon.
Dan
hari ini, setelah hampir tujuh bulan bentangan geografis mengukir garis garis
rindu di hati kami, akhirnya takdir juga yang akan mempertemukan kami kembali.
Dia akan datang menemuiku. Kemarin siang dia berangkat dengan kereta Gajayana
dari stasinu Gambir menuju Malang.
Dan pagi ini aku sibuk mempersiapkan diri menjemputnya di stasiun Kota Baru, Malang. Bahagia sekali
rasanya. Jantungku tak henti berdebar menanti kedatangannya. Rasa penasaran
semakin menambah debar jantung yang tak kuasa kuhentikan. Bagaimana
penampilannya sekarang? Apakah ada yang berubah dari dirinya setelah tujuh
bulan tak berjumpa ? Ah, tak sabar sekali aku jadinya.
Setelah
berpamitan dengan ibu kost, segera kustater motorku keluar garasi. Namun baru
saja keluar dari gerbang kostku,
tiba-tiba mobil pick up melaju kencang dari perempatan jalan dan nyaris
menabrakku. Untung saja aku dapat segera menghindar walaupun sempat terjatuh
dan badanku terasa sakit sekali. Ingin sekali kumaki pengemudi ugal-ugalan itu,
namun rindu ini membuatku tak menghiraukannya. Tak sabar lagi, segera kutancap
gas menjemput rinduku yang sudah menunggu di Stasiun Kota Baru yang mendadak jadi
merah jambu.
Di
kursi tunggu, duduklah seorang laki-laki yang sangat ku kenal. Tak ada yang
berubah satupun darinya kecuali raut wajahnya yang tak segar seperti dulu.
Segera kuhampiri dan kusapa, namun kenapa dia tak menghiraukanku. Dia malah
buru-buru pergi dengan laki-laki paruh baya yang tak lain adalah bapak Kostku.
Hampir habis suaraku ini memanggilnya. Namun dia terus saja berlari dan
buru-buru pergi dengan motor bapak kostku. Kustater motorku mengejarnya. Air
mataku jatuh satu-satu menyaksikan keacuhannya.
Kulihat
motor yang dinaikiya melewati ruas-ruas jalan menuju kostku. Dan benar, dia
belok ke gerbang kostku. Segera kupercepat laju motorku menyusulnya. Hei,
Kenapa kostku jadi ramai sekali? Kenapa juga Galih menagis di depan perempuan pucat
yang sedang berbaring ditutup kain panjang? Siapa perempuan yang membuat Galih sesenggukan begitu. Kudekati perlahan, dan
betapa terkejutnya karena perempuan pucat yang ditutup kain panjang itu
ternyata adalah aku.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar